Adil dalam Bersaksi : Halaqah Fiqh PKU

Banjarmasin (05/10/23) kembali dilaksanakan halaqah fiqh yang bertempat di masjid Abdurrahman Ismail, kampus 1, UIN Antasari Banjarmasin. Menyambung dari pembahasan sebelumnya, mengenai syarat seseorang yang disebut dengan adil.

Syarat al-‘Adalah ada 5 syarat (syarat seorang saksi), yakni menghindari dosa besar, bukan orang yang berterusan membuat dosa kecil. Hal ini dikarenakan tidak bisa diterima persaksian dari orang yang memiliki dosa besar, serta tidak termasuk orang yang berterusan melakukan dosa kecil. Dikarenakan orang yang seperti ini masuk dalam kategori fasik. Kata al-Fasik secara bahasa sendiri adalah al-Khuruj. Maka dikatakan orang, fasaqat ar-ruthab. Sedangkan dalam istilah syariat, adalah menyimpang dari jalan yang ditempuh.

Yang dimaksud dengan orang yang berterusan berbauh dosa kecil (mudmin): bukan karena dia melakukannya kadang-kadang dan meninggalkan nya. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i berkata: apabila yang lebih dominan itu nilai ketaatan dan menjaga murru’ah, diterima persaksiannya. Sedangkan apabila sebaliknya, maka ditolak persaksiannya.

Apakah yang dimaksud dengan gemar melakukan maksiat yang dapat mencabut kriteria adil dalam diri seseorang, baik itu yang jenis namun berterusan, ataukah tidak berterusan namun bermacam-macam? Imam Rafi’i berkata: Diantara para ulama ada yang berpendapat seperti yang pertama, namun sebagian lagi berpendapat seperti yang kedua. Menurut qaul mayoritas ulama cocok dengan orang yang lebih banyak maksiat nya daripada ketaatan, maka persaksiannya di tolak. Dan di dalam al-Mukhtasar Imam Syafi’i, dekat dengan hal itu.

Aku katakan, apabila kita menguatkan yang kedua, apabila berterus-terusan berbuat maksiat (dosa kecil) maka tidak mencabut keadilan, bukan seperti itu, karena dia sendiri secara terang-terangan, jika dilakukan dosa besar secara terus-menerus maka akan menjadi dosa besar, maka pahamilah.

Para sahabat (ulama) berbeda pendapat mengenai hukuman hukuman yang besar, dan kitab ini tidak berkaitan dengan pembagiannya, dua hal yang disebutkan oleh Al-Rafi’i: Salah satunya dari Al-Baghawi menyebutkannya, dan dia berkata: Azab yang besar adalah yang mengharuskan adanya azab, dan ada pula yang berkata: Apa yang menyebabkan pemiliknya mendapat ancaman berat berdasarkan nash kitab atau sunnah. Ar-Rafi’i berkata: Mereka lebih memilih yang pertama. Saya cenderung – maksudnya seperti apa yang dikatakan Al-Baghawi – namun yang kedua lebih sesuai dengan apa yang mereka sebutkan ketika merinci dosa-dosa besar

Muallif berkata: Imam Mawardi berkata bahwa dosa besar adalah sesuatu yang mewajibkan had atau sesuatu yang diberikan ancaman kepada orang yang melakukannya. Sedangkan disa kecil, adalah yang kadar dosa nya sedikit. Wallahu A’lam

Syarat al-‘adalah selanjutnya adalah baik kepribadian, mencegah dari marah, menjaga muru’ah atas orang semisalnya.

Salim as-Sarir “Waspadalah terhadap orang-orang yang al-bida’ dan ahwa. Banyak orang yang berselisih paham mengenai kekafirannya, meskipun dari orang-orang yang diperpegangi (diikuti). Tidak ada keraguan bahwa sebagian dari mereka mereka pasti kafir, dan sebagian dari mereka pasti bukan kafir, dan sebagian lagi ada yang berselisih paham. Akan tetapi, disini bukanlah tempat membahas kafir dan tidak.”

Imam Nawawi mengatakan dalam kitab ashlu raudhah: Apabila sudah dipastikan kafir ahli bida’, maka tidak diterima persaksiannya. Akan tetapi, apabila orang tidak dihukumkan kafir dari ahli bida’ dan ahwa, maka ditemukan dalam nash imam Syafi’i (al-Umm) dan (al-mukhtasar), diterima persaksiannya, kecuali al-Khatabiyah. Al-Khatabiyah sendiri merupakan kelompok yang berpendangan boleh persaksian diberikan orang yang alirannya sama seperti mereka. Apabila mendengar, mereka berkata (Milikku, ada pada orang itu). Maka pernyataan itu cukup dengan, dengan sumpah atau hal lainnya. Persaksiannya sudah cukup dianggap tidak berdusta.

Dikalangan tokoh-tokoh ulama Syafi’iyah sendiri, kelompok ini dibagi menjadi tiga:

– Kelompok yang melihat perkataan Imam Syafi’i secara dzahir saja (selama tidak kafir, maka diterima saka persaksiannya). Hal ini sendiri merupakan pendapat yang paling banyak diikuti. Mereka menunjukkan bahwa pernyataan mereka benar, dan tidak ada satu pun dari mereka yang dapat mengikis kepercayaan terhadap pernyataan mereka, bahkan mereka menerima kesaksian orang-orang yang mencaci maki para sahabat dan para pendahulu radhiyallahu ‘anhu. Karena dia melakukannya karena keyakinan, bukan karena rasa permusuhan dan keras kepala.

Mereka berkata: Seandainya perkataan saya itu menjadi saksi dan disebutkan dalam kesaksiannya, maka hal itu menghilangkan kemungkinan untuk bersandar pada pernyataan penggugat. Jika dia mengatakan: Saya mendengar si fulan mengaku ini-dan-itu kepada si fulan, atau saya melihat dia meminjamkannya kepadanya, maka kesaksiannya diterima.

Wallahu A’lam