
Kajian Fiqh: Hukum Mazi, Wadi, dan Kotoran Lainnya
Kamis,13 November 2025 kajian rutin fiqh kembali dilaksanakan bersama Dr. Nuril Khasyi’in, Lc., M.A. dengan kitab Kifayatul Akhyar karya Imam Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini asy-Syafi’i.
Pada kesempatan kali ini, pembahasan difokuskan pada cara membedakan jenis cairan yang keluar dari tubuh serta hukum kenajisannya menurut madzhab-madzhab fiqh.
Beliau menjelaskan bahwa mazi adalah cairan berwarna putih, cair, kental, yang keluar karena dorongan syahwat, seperti saat bercumbu atau memikirkan hal-hal yang membangkitkan gairah, namun tidak disertai rasa lelah atau keluarnya air mani. Sementara itu, wadi merupakan cairan berwarna putih keruh, kental, dan biasanya keluar bersamaan dengan air kencing.
Beliau menegaskan bahwa segala sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) seperti air kencing, kotoran, darah, dan nanah adalah najis. Namun, cacing, batu, dan benda keras lain yang tidak dapat dihancurkan oleh lambung termasuk mutanajjis (terkena najis), bukan najis zatnya.
Kajian juga mengulas perbedaan pendapat ulama mengenai air mani manusia. Menurut Imam Syafi‘i dan Imam Ahmad, air mani manusia suci. Sedangkan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa air mani manusia najis.
Adapun air mani hewan, jika berasal dari anjing atau babi, maka najis secara mutlak. Untuk hewan selain keduanya, ulama berbeda pendapat sebagian mengatakan najis, sebagian lainnya tidak. Ust kemudian menjelaskan tentang cara membasuh najis, yaitu najis ‘ainiyah (najis yang tampak). Cara membersihkannya adalah dengan menghilangkan zat najis terlebih dahulu, kemudian membasuh hingga hilang warna, bau, dan rasanya.
Sementara itu, air kencing bayi laki-laki yang belum makan apa pun selain air susu memiliki hukum khusus, yaitu cukup dipercikkan air tanpa harus dibasuh secara penuh. Kajian ditutup dengan pesan bahwa memahami hukum-hukum thaharah seperti ini sangat penting agar ibadah seorang Muslim tetap sah dan suci di sisi Allah Swt.



