
Kajian Tafsir Surah Hud Ayat 1–7: Keseimbangan antara Takdir dan Usaha
Rabu, 12 November 2025, telah dilaksanakan kembali kegiatan halaqah kajian tafsir Al-Qur’an kitab Shafwat at-Tafasir karya Al-Shabuni. Kajian ini disampaikan oleh pemateri Mia Alfisah di bawah bimbingan Prof. Dr. Abdullah Karim, M.Ag. selaku dosen pengampu.
Dalam penyampaian materi, pemateri menjelaskan makna pembuka ayat (Alif Lam Ra) sebagai isyarat terhadap kemukjizatan Al-Qur’an yang tersusun dari huruf-huruf hijaiyah. Menurut penjelasan Ibnu Abbas, frasa tersebut bermakna “Aku adalah Allah yang melihat.” Sementara frasa (Kitabun uhkimat ayatuhu tsumma fussilat) menunjukkan kesempurnaan struktur dan kandungan Al-Qur’an yang menjelaskan secara rinci hukum-hukum halal, haram, serta pedoman kehidupan dunia dan akhirat. Pemateri juga menegaskan bahwa perintah “alla ta‘budu illa Allah” mengandung ajakan tauhid agar manusia hanya menyembah kepada Allah semata.
Selanjutnya, ayat-ayat dalam Surah Hud juga menegaskan perintah untuk beristighfar dan bertobat dengan tulus agar memperoleh kehidupan yang baik di dunia serta pahala di akhirat. Allah menjanjikan balasan sesuai kadar amal kebaikan setiap hamba-Nya. Pemateri menjelaskan bahwa hal ini menunjukkan keseimbangan antara rahmat dan keadilan Allah, di mana ampunan dan rezeki tidak diberikan tanpa hikmah, tetapi berdasarkan ketentuan dan kebijaksanaan Ilahi.
Pada ayat keenam, Allah menegaskan bahwa tidak ada satu makhluk pun di bumi kecuali telah dijamin rezekinya oleh Allah. Namun, pemateri menambahkan bahwa jaminan rezeki tersebut tidak berarti manusia boleh berdiam diri tanpa usaha, sebab rezeki yang tercantum di Lauh al-Mahfuzh tidak diketahui oleh manusia seberapa banyak dan bagaimana cara memperolehnya. Oleh karena itu, usaha menjadi bentuk ikhtiar dan ketaatan terhadap sunnatullah. Dosen pengampu juga menjelaskan konsep iman yang terbagi menjadi mu‘allaq (tergantung pada usaha) dan mubram (telah ditetapkan secara pasti). Dalam konteks ini, rezeki termasuk bagian yang dijamin bagi semua makhluk baik muslim maupun kafir, sedangkan ibadah dan ganjarannya bergantung pada usaha manusia dan kehendak Allah.
Pada ayat ketujuh, pemateri memaparkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, yang dimaknai para mufassir sebagai enam tahapan penciptaan alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa Allah mengajarkan manusia pentingnya proses, ketelitian, dan kesabaran dalam setiap pekerjaan. Meskipun Allah berkuasa untuk menciptakan dengan seketika melalui firman kun fayakun, penciptaan bertahap menunjukkan kebijaksanaan-Nya. Selain itu, dijelaskan pula bahwa air dan ‘Arsy diciptakan lebih dahulu sebelum langit dan bumi, menunjukkan urutan penciptaan yang penuh makna.
Dalam sesi diskusi, peserta menanyakan tiga hal utama: keseimbangan antara takdir rezeki dan usaha manusia, makna enam masa penciptaan, serta urutan penciptaan air dan ‘Arsy. Pemateri menjawab bahwa manusia wajib berikhtiar dalam mencari rezeki karena usaha merupakan bentuk tanggung jawab terhadap takdir yang belum diketahui. Enam masa dimaknai sebagai tahapan penciptaan alam semesta, dan air serta ‘Arsy diciptakan sebelum langit dan bumi tanpa jeda panjang waktu. Kajian ini ditutup dengan kesimpulan bahwa Surah Hud ayat 1–7 mengandung pelajaran tentang keesaan Allah, kesempurnaan wahyu, pentingnya usaha dan ikhtiar, serta hikmah di balik proses penciptaan alam semesta.



