GHIBAH: DOSA LISAN YANG SERING DIREMEHKAN

Pada hari Selasa, 3 Juni 2025, telah dilaksanakan halaqah hadis dengan topik “Larangan Melakukan Ghibah”, bersama Ust. Dr. Dzikri Nirwana, M.Ag. sebagai pembimbing diskusi halaqah. Kajian ini membahas salah satu hadis Nabi Muhammad ﷺ yang menjelaskan tentang definisi ghibah (menggunjing), sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Adapun hadis yang menjadi pokok bahasan dalam halaqah ini adalah hadis nomor 2589. Hadis ini menegaskan bahwa ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudara kita ketika ia tidak hadir, meskipun apa yang dikatakan itu benar. Jika yang disebutkan tidak sesuai kenyataan, maka perbuatannya termasuk fitnah, yang dosanya lebih besar.
Namun demikian, pemateri menjelaskan bahwa para ulama menyebut adanya enam keadaan yang dibolehkan untuk menyebut keburukan orang lain (ghibah), dengan syarat bahwa niatnya tulus dan tujuannya murni untuk kemaslahatan umat, bukan untuk menyebarkan aib, menjelekkan, atau menjatuhkan seseorang. Keenam keadaan tersebut adalah:
- Mengadukan kezaliman kepada pihak yang berwenang, seperti hakim atau pemimpin, agar kezaliman dihentikan dan hak dikembalikan kepada yang berhak.
- Meminta bantuan untuk menghentikan kemaksiatan, dalam rangka menunaikan kewajiban amar makruf nahi mungkar.
- Meminta fatwa kepada seorang mufti terkait permasalahan yang melibatkan orang lain. Namun, lebih utama jika tidak menyebutkan nama secara langsung.
- Memberikan peringatan kepada umat Islam, misalnya memperingatkan dari penipu, pelaku penyimpangan dalam agama, atau saksi palsu.
- Menyebut keburukan orang yang terang-terangan berbuat dosa, karena orang tersebut tidak menjaga kehormatannya sendiri di hadapan publik.
- Menggunakan julukan yang dikenal umum, seperti “si pincang” atau “si buta”, semata-mata untuk keperluan identifikasi, bukan penghinaan. Namun, tetap lebih utama menyebut nama yang lebih sopan.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang peserta mengajukan pertanyaan: “Apakah menyebutkan kisah hidup seseorang untuk dijadikan pelajaran dapat disebut sebagai ghibah yang diperbolehkan?” Pemateri menjawab bahwa hal tersebut diperbolehkan, selama disampaikan secara bijak, tidak menyudutkan atau merendahkan, dan niatnya untuk mengambil pelajaran (ibrah) dan memperbaiki diri. Bukan untuk membuka aib yang tidak perlu diketahui publik.
Sebagai penutup, pembimbing halaqah menyampaikan pesan penting yang sangat relevan dengan kehidupan saat ini: “Untuk kita yang hidup di era media sosial, jangan pernah memposting hal-hal yang mengandung ghibah, hingga mengundang komentar buruk dari orang lain.” Media sosial seharusnya menjadi sarana untuk menyebarkan kebaikan, bukan tempat memicu dosa berjamaah melalui lisan dan tulisan. Semoga melalui halaqah ini, kita semakin berhati-hati dalam menjaga lisan dan tulisan, serta senantiasa memperbaiki niat dalam setiap ucapan dan perbuatan.