Kausalitas, Ilmu Allah, dan Takdir: Membaca Qadha dan Qadar dalam Perspektif Ibnu Rusyd

Banjarmasin, Senin 19 Mei 2025. Pada hari ini telah dilaksanakan kembali halaqah rutinan di Masjid Abdurrahman Ismail, UIN Antasari Banjarmasin. Kajian disampaikan oleh Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A., dengan membahas lanjutan dari kitab Al-Kashf ʿan Manāhij al-Adillah fī ʿAqāid al-Millah karya Ibnu Rusyd.
Kajian kali ini mengangkat pembahasan filosofis mendalam mengenai hubungan antara sebab-akibat (kausalitas), ilmu Allah, dan konsep qadha dan qadar. Prof. Mujiburrahman menyoroti bahwa dalam nalar Ibnu Rusyd, segala sesuatu di alam semesta, termasuk kehendak dan perbuatan manusia, berlangsung dalam sistem sebab-akibat yang telah ditentukan dan tidak menyimpang dari ketetapan-Nya. Segala sesuatu yang terjadi, baik dalam diri manusia maupun di luar dirinya, berjalan sesuai sistem keteraturan yang disebut sebagai qadar.
Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa kehendak dan tindakan manusia tidak dapat terjadi kecuali jika sesuai dengan sebab-sebab yang ada, baik dari dalam tubuh manusia maupun dari lingkungan di luar dirinya. Sebab-sebab ini tersusun secara sistematis dan terbatas, sehingga setiap perbuatan manusia terjadi pada waktu tertentu dan dalam kadar tertentu. Dalam penjelasannya, Prof. Mujiburrahman menyatakan bahwa “ini menunjukkan bahwa tindakan manusia memang mengandung unsur pilihan, tetapi tidak lepas dari keterikatan dengan hukum-hukum Tuhan yang telah ditetapkan secara sempurna.”
Lebih lanjut, dibahas bahwa sistem sebab-akibat inilah yang disebut oleh Ibnu Rusyd sebagai qadha dan qadar, yang tercatat dalam Lauh Mahfuzh. Bahkan ilmu Allah tentang semua sebab ini adalah penyebab utama terjadinya sebab-sebab itu sendiri. Dengan kata lain, Allah mengetahui segala sesuatu bukan karena sesuatu itu terjadi, tetapi karena pengetahuan-Nya lah sesuatu itu terjadi. Hal ini menegaskan bahwa ilmu Allah adalah sumber penciptaan, bukan sekadar pencatatan.
Dalam sesi diskusi, Prof. Mujiburrahman menguraikan bahwa “karena hanya Allah yang mengetahui seluruh sebab yang mengakibatkan segala sesuatu, maka hanya Dia pula yang benar-benar mengetahui hal-hal gaib.” Ini berkaitan langsung dengan firman Allah dalam QS. al-An‘ām: 59 tentang Mafātīḥul-Ghaib, yakni kunci-kunci perkara gaib yang hanya dimiliki Allah. Maka, pengetahuan manusia tentang masa depan tidak akan pernah sempurna, karena keterbatasannya dalam mengetahui sebab-sebab yang mendahului suatu akibat.
Sebagai penutup, Prof. Mujiburrahman menekankan pentingnya memahami qadha dan qadar secara seimbang, antara unsur ketetapan ilahi dan peran aktif manusia dalam berusaha. “Usaha manusia adalah bagian dari hukum sebab-akibat yang telah Allah tetapkan, dan di situlah letak tanggung jawabnya,” ujarnya. Dengan demikian, kajian ini menegaskan bahwa pemahaman terhadap takdir tidak semata-mata bersifat tekstual atau fatalistik, tetapi memerlukan pendekatan rasional agar tidak mengingkari baik kekuasaan Allah maupun ikhtiar manusia.