
Takdir dan Jalan Tengah Asy‘ariyah: Telaah Kritis Ibnu Rusyd
Pada hari Senin, tanggal 5 Mei 2025, telah dilaksanakan kembali halaqah kajian tauhid rutin di Masjid Abdurrahman Ismail yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mujiburrahman, M.A. Kajian kali ini membahas tentang takdir menurut Asy-‘Ariyah dalam kitab Al-Kasyf ‘an Manāhij al-Adillah fī ‘Aqāid al-Millah karya Ibnu Rusyd.
Dalam pembahasan tersebut, disampaikan bahwa kalangan Asy‘ariyah mengemukakan pandangan yang bersifat pertengahan antara dua kutub ekstrem dalam masalah perbuatan manusia, yaitu Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Asy‘ariyah, manusia memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu terbatas. Manusia memiliki kasab , yakni berbarengannya kehendak manusia dengan kehendak Allah. Mereka juga berpendapat bahwa perbuatan manusia, termasuk pelaku dari perbuatan tersebut, merupakan ciptaan Allah.
Penjelasan lebih lanjut mengungkap dua pemaknaan atas konsep tersebut:
- Tanggung jawab manusia muncul ketika ia memilih antara kebaikan dan keburukan. Jika pilihan tersebut sesuai dengan kehendak Allah, maka hal itu merupakan takdir.
- Manusia memang menentukan pilihannya, namun pilihan tersebut tidak akan efektif tanpa adanya hukum sebab-akibat, yang mana hukum tersebut merupakan bagian dari kehendak Allah.
Ibnu Rusyd mengkritik pandangan Asy‘ariyah tersebut. Menurutnya, apabila usaha manusia adalah ciptaan Allah, maka manusia secara tidak langsung dipaksa untuk melakukan perbuatannya sendiri. Dalam diskusi, Prof. Mujiburrahman menambahkan bahwa meskipun Asy‘ariyah ingin mengambil jalan tengah, menurut Ibnu Rusyd justru tidak ada jalan tengah dalam hal ini. Pandangan mereka cenderung kembali pada posisi Jabariyah.
Selain adanya kontradiksi antara teks-teks Al-Qur’an dan hadis dalam membahas takdir, terdapat pula kontradiksi pada dalil-dalil rasional. Hipotesis bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri menimbulkan kesimpulan bahwa ada pencipta selain Allah, yang bertentangan dengan prinsip tauhid. Sebaliknya, jika manusia tidak menciptakan perbuatannya sendiri, maka ia dipaksa melakukan sesuatu, sehingga pertanggungjawaban syar‘iyah menjadi tidak masuk akal. Membebani manusia dengan kewajiban yang tidak mampu ia lakukan serupa dengan membebani benda mati, yang jelas tidak memiliki daya dan kehendak.
Dalam sesi tanya jawab, Saudara Ali Rijani At-Tijani mengajukan pertanyaan, “Bagaimana Ibnu Rusyd mengompromikan antara konsep jabr dan iktisab ?” Prof. Mujiburrahman menjawab bahwa Ibnu Rusyd sangat memegang teguh prinsip kausalitas. Tanpa prinsip tersebut, menurutnya, tidak mungkin kita memahami kehendak dan kekuasaan Allah.