Halaqoh Fiqih: Bab Kadar Air dan Kulit Bangkai dan Tulangnya

Banjarmasin (08/02/24) kembali dilaksanakan halaqah fiqh yang bertempat di masjid Abdurrahman Ismail, kampus 1, UIN Antasari Banjarmasin. Pembahasan hari ini mengenai tentang keraguan kadar air dan kulit bangkai dan tulangnya.

وَالسَّلَامُ : ( إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلْتَيْنِ لَمْ يَحْمِلُ خَبَثًا ) وَفِي رِوَايَةِ ) نَجِسًا ) : فَدَلُّ الْحَدِيثُ بِمَفْهُوْمِهِ عَلَى أَنَّهُ إِذَا كَانَ دُونَ قُلْتَيْنِ يَتَأَثَرُ بالنَّجَاسَةِ وَاحْتَرَزَ بِالنَّجَاسَةِ الْمُؤَثَّرَةِ عَنْ غَيْرِ الْمُؤَثَّرَةِ

《 jika air sampai dua qullah, maka air itu tidak mengandung pada kotoran 》 dan dalam riwayat lain (Najis) maka menunjukkan hadits itu dengan mafhumnya atas kebalikannya, bahwasannya jika ada air di bawah dua qullah akan di pengaruhi dengan najis dan berhati-hatilah dengan najis yang memberi bekas dari najis yang tidak memberi bekas

قَالَ النَّوَوِي فِي الرَّوْضَةِ : كَالمَيْتَةِ الَّتِي لا نَفْسَ لَهَا سَائِلَةِ مِثْلَ الذُّبَابِ وَالْخَنَافِسَ وَنَحْوِهَا وَكَالنَّجَاسَةِ الَّتِي لا يُدْرِكُهَا الطَّرْفِ لِعُمُومِ الْبَلْوَى بِهِ وَكَمَا إِذَا وَقَعَ الذُّبَابِ عَلَى نَجَاسَةِ ثُمَّ سَقَطَ فِي الْمَاءِ وَرَشَاشِ الْبَوْلِ الَّذِي لَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ فَيَعْفَى عَنْهُ وَكَمَا إِذَا وَلَغَتِ الْهِرَّةِ الَّتِي تَنَجَّسَ فَمُهَا ثُمَّ غَابَتِ وَاحْتَمَلَ طَهَارَةُ فَمِهَا

Berkata Imam Nawawi dalam kitab 《RAUDHAH》: seperti bangkai tidak ada darah mengalir kepadanya, seumpama lalat dan kumbang dan semisalnya dan seperti najis yang tidak dapat di kenalinya oleh mata karena ke umuman kejadian denganya dan sebagaimana jika pengaruh seekor lalat yang ada di atas najis, kemudaian jatuh ke dalam air dan percikan air kencing yang tidak dapat di kenalinya oleh mata, maka akan di maafkan darinya dan sebagaimana jika jilatan kucing yang terkena najis mulutnya, kemudian najis itu menghilang dan mempengaruhi kesucian mulutnya

فَإِنَّ الْمَاءَ الْقَلِيلَ لا يَنَجَّسَ فِي هَذِهِ الصُّوَرِ

Maka sesungguhnya air yang sedikit tidak dapate Menjadi najis dalam gambaran ini.

Keraguan terhadap kadar air yang terkena najis. Imam al-Mawardi dan beberapa ulama lainnya menyatakan bahwa jika terdapat keraguan apakah air telah mencapai jumlah tertentu yang dapat menyebabkan air menjadi najis atau tidak, maka menurut mereka, harus dilakukan pemeriksaan untuk memastikan keberadaan najis. Namun, menurut Imam Asy-Syafi’i, pendapat yang lebih kuat adalah memastikan bahwa air tetap suci karena asalnya adalah kesucian, dan tidak diwajibkan untuk menganggap air sebagai najis kecuali dengan bukti yang jelas.

Mereka juga membahas tentang jumlah yang tepat yang dapat mengubah kesucian air, seperti menyebutkan bahwa dua qullah (قلتان) setara dengan lima ratus ratl di wilayah Irak. Contohnya, jika kita menambahkan satu ratl dari zat yang dapat mengubah sifat air ke dalam lima ratus ratl, namun air tidak terpengaruh, maka pengurangan dua ratl atau lebih mungkin akan mempengaruhi kesucian air. Ada perbedaan pendapat mengenai jumlah pasti yang dapat mengubah kesucian air, tetapi menurut mayoritas ulama, jumlah kecil yang tidak terlalu signifikan tidak akan mempengaruhi kesucian air. Maka dari itu, patut dimaklumi jikalau kita mendapatkan perbedaan jumlah banyak nya air.

Dalam beberapa pendapat, ada pengecualian untuk pengurangan dua ratl, tiga ratl, atau lebih. Ada juga diskusi tentang metode pengukuran yang digunakan untuk menentukan jumlah air yang diperlukan untuk mengubah kesucian, seperti menggunakan alat ukur yang sama dengan pengukuran zakat, yang dijelaskan dalam detail mengenai dimensi dan ukurannya.

Bab Kulit dan Tulang Bangkai

فضل : وَجُلُودُ الْمَيْتَةِ تَطَهَّرَ بِالدَّبَّاغِ إِلَّا جِلْدَ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ وَمَا ) تَوَلَّدُ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا

Fashal: Dan kulit bangkai dapat suci dengan disamak kecuali kulit anjing dan babi dan hewan yang terlahir dari keduanya atau dari salah satunya }

الْحَيَوَانُ الَّذِي يُنَجِّسُ بِالْمَوْتِ إِذَا دَبَغَ جَلْدُهُ يُطَهِّرُ بِالدَّبَّاغِ سَوَاءً فِي ذلِكَ مَأْكُولِ اللَّحْمِ وَغَيْرِهِ

Hewan yang akan najis dengan mati, jika menyamak kulitnya adalah akan suci dengan disamak, sama dalam hal itu yaitu hewan yang di makan dagingnya dan lainnya.

والْأَصْلُ فِي ذَلِكَ حَدِيثُ مَيْمُونَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا حَيْثُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَاتِهَا ( لَو أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا ؟ فَقَالُوا : إِنَّهَا مَيْتَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يُطَهِّرُهُ الْمَاءُ وَالْقَرَظُ 《

Dan ashal dalam masalah ini ada hadits dari Maimunah Ra, dimana ia berkata: Nabi saw pernah melewati dalam se ekor kambing yang di seretnya, Nabi saw bersabda: 《 seandainya kalian mengambil kulitnya ? maka mereka berkata : sesungguhnya kambing itu bangkai, maka Rasulullah saw bersabda: sucikanlah kulitnya dengan air dan daun salam 》

kesucian kulit hewan mati setelah diolah dengan proses penyamakan kulit (dibagh). Umumnya, kulit hewan mati dapat membersihkan dengan proses penyamakan kecuali kulit anjing dan babi, yang mana keduanya termasuk dalam jenis hewan yang najis baik saat hidup maupun mati. Dasar hukum untuk ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam An-Nasa’i, dan Imam Ahmad yang menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Maimunah, “Jika kamu mengambil kulit hewan mati itu, katakanlah bahwa ia sudah mati.” Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Air dan tanah tidak menyucikan kulit hewan mati.” (HR. Muslim).

Setelah proses penyamakan selesai, maka kulit tersebut dianggap suci baik dari sisi luar maupun dalam menurut pendapat mayoritas ulama. Kulit tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk pembuatan barang-barang yang kering maupun basah, serta dapat dijual, diberikan sebagai hadiah, atau diwariskan. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah daging dari hewan yang penyamakan kulitnya diizinkan untuk dikonsumsi. Imam Ar-Rafi’i cenderung memperbolehkannya, sedangkan Imam An-Nawawi cenderung mengharamkannya.

Proses penyamakan kulit ini biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan penyamak seperti pohon sumak, kulit pohon berang-berang, atau kulit delima, yang semuanya dianggap suci. Proses penyamakan ini harus memenuhi beberapa syarat, antara lain, semua kotoran harus dibersihkan dari kulit, kulit harus memperoleh bau yang wangi, dan kulit tersebut tidak lagi mudah rusak ketika direndam dalam air. Jika kulit tersebut telah memenuhi syarat-syarat ini, maka dianggap telah disamak.

Namun, kulit anjing dan babi tidak dapat disucikan dengan proses penyamakan, sehingga tetap dianggap najis.

Wallahu a’lam bisshawab.