
Kajian Tauhid: Memahami Makna Nuzul dan Prinsip Taqdis dalam Hadis Mutasyabihat
Kamis, 18 Desember 2025, telah dilaksanakan kembali halaqah rutin kajian tauhid di Masjid Abdurrahman Ismail, UIN Antasari Banjarmasin. Kajian disampaikan oleh Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A. dengan rujukan kitab Iljām al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām karya Imām Abū Ḥāmid al-Ghazālī.
Kajian kali ini difokuskan pada peneguhan prinsip taqdīs (pensucian Allah Swt.) dalam memahami hadis-hadis mutasyabihat, khususnya yang menggunakan lafaz an-nuzūl (النزول). Dalam pemaparannya, dijelaskan bahwa lafaz nuzūl merupakan lafaz musytarak, yaitu kata yang memiliki lebih dari satu makna dalam bahasa Arab.
Secara bahasa, nuzūl dapat digunakan untuk menggambarkan perpindahan suatu jasad dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah, yang dalam konteks makhluk dapat berarti turun secara fisik, baik disertai gerakan atau perpindahan tempat. Makna inilah yang biasa digunakan dalam konteks benda atau makhluk jasmani.
Namun, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa makna tersebut tidak boleh diterapkan pada Allah Swt., karena Allah Mahasuci dari sifat-sifat jasmani, perpindahan, dan perubahan. Oleh sebab itu, lafaz nuzūl dalam hadis yang disandarkan kepada Allah tidak boleh dipahami secara lahiriah yang mengarah pada penyerupaan dengan makhluk.
Dalam kitab yang dikaji, dijelaskan pula bahwa lafaz nuzūl juga digunakan dalam bahasa Arab untuk makna non-fisik, tanpa mengandung unsur perpindahan jasad atau gerak tubuh. Sebagaimana turunnya makna, ketetapan, atau perintah Allah, yang tidak dapat dipahami sebagai pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Contoh ini ditegaskan untuk menunjukkan keluasan makna bahasa Arab serta pentingnya kehati-hatian dalam memahami lafaz mutasyabihat.
Imam al-Ghazali kemudian menekankan bahwa kewajiban seorang mukmin adalah meyakini kesucian Allah dari makna-makna jasmani, tanpa harus menentukan hakikat atau bagaimana makna nuzūl tersebut. Allah Swt. bukan jism, bukan tempat, dan tidak mengalami perpindahan. Memaksakan makna fisik pada sifat Allah justru dapat menjerumuskan pada kesalahan akidah.
Apabila seseorang merasa kesulitan memahami hakikat makna nuzūl, maka Imam al-Ghazali mengajarkan sikap taslīm (menerima) dan sukūt (tidak mempertanyakan hakikatnya), seraya meyakini bahwa makna tersebut pasti benar, layak bagi keagungan Allah Swt., dan tidak menyerupai makhluk. Sikap ini merupakan manhaj yang aman dalam menjaga akidah, khususnya bagi kalangan awam.



