
Kajian Tauhid: Hakikat I’tiqad Salaf
Mengawali kajian kitab Iljam al-Awam pagi ini Prof. Mujib menjelaskan tentang perspektif Fazlur Rahman tentang hadits. Hadits itu verbalisasi daripada sunnah. Yaitu mengkodifikasi sunnah sehingga ada teksnya. Sunnah adalah living tradition yaitu tradisi yang hidup yang dalam konteks ini tradisi yang dihidupi oleh para salaf (sahabat, tabi’in).
Kebenaran yang jelas dan tidak ada keraguan padanya menurut orang-orang yang memiliki pandangan batin yang jernih adalah mazhab salaf; yaitu mazhab para sahabat dan tabi‘in.
Kata al-Ghazali hakikat mazhab salaf yang merupakan kebenaran menurut mereka adalah bahwa setiap orang awam yang telah sampai kepadanya salah satu dari Al Qur’an dan hadis ini, maka wajib baginya tujuh perkara:
mensucikan (Allah), kemudian membenarkan, kemudian mengakui ketidakmampuan, lalu diam, kemudian menahan diri, kemudian tidak membahasnya lebih jauh, dan terakhir menyerahkannya kepada أهل المعرفة (orang-orang yang berilmu dan berpengetahuan).
Adapun pensucian (tanzīh), yang aku maksud adalah menyucikan Tuhan Yang Mahatinggi dari sifat jasmani
dan segala konsekuensinya.
Adapun pembenaran (tasdīq), yaitu beriman kepada apa yang disampaikan oleh Nabi ﷺ, bahwa apa yang beliau sebutkan adalah benar, beliau benar dalam apa yang beliau ucapkan, dan bahwa hal tersebut adalah kebenaran sesuai dengan cara yang beliau sampaikan dan beliau kehendaki.
Adapun pengakuan atas ketidakmampuan, yaitu seseorang mengakui bahwa mengetahui maksud yang dikehendaki (hakikat maknanya) bukanlah dalam batas kemampuannya, dan bahwa hal itu bukan urusannya serta bukan bidang keahliannya.
Adapun diam (sukūt), yaitu tidak menanyakan maknanya, tidak membahas atau menyelaminya, serta menyadari bahwa bertanya tentang hal itu adalah bid‘ah, dan bahwa terjun membahasnya mengandung bahaya bagi agamanya, bahkan dikhawatirkan dapat menyeretnya kepada kekufuran tanpa ia sadari. Contohnya karena tidak diamnya bisa saja menjadikannya bertanya apakah karena aku tidak mengetahui nabi juga tidak mengetahui.
Adapun menahan diri (imsāk), yaitu tidak memperlakukan lafaz-lafaz tersebut dengan pengubahan atau penggantian ke dalam bahasa lain, tidak menambah atau menguranginya, tidak menggabung atau memisahkannya, tetapi tidak mengucapkannya kecuali dengan lafaz itu sendiri dan dengan cara sebagaimana adanya, baik dari sisi penyampaian, i‘rab, tashrīf, maupun bentuk katanya.
Adapun menjaga diri (kaff), yaitu menahan batin dari meneliti dan memikirkannya secara mendalam.
Adapun menyerahkannya kepada ahlinya, yaitu tidak berkeyakinan bahwa apabila maknanya tersembunyi baginya karena ketidakmampuannya, maka hal itu juga tersembunyi bagi Rasulullah ﷺ, atau bagi para nabi, para shiddiqin, dan para wali.
Maka inilah tujuh kewajiban yang diyakini oleh seluruh kalangan salaf sebagai kewajiban bagi setiap orang awam. Tidak sepantasnya disangka bahwa para salaf berbeda pendapat dalam satu pun dari perkara-perkara ini. Karena itu, kami akan menjelaskannya satu per satu di pertemuan akan datang.



