
Kajian Fiqh: Hukum Tayammum dan Najis Jilatan Anjing
Kamis, 11 Desember kembali dilaksanakan halaqah fiqh, dan pada kajian kali ini dibahas dua persoalan fikih, yaitu tentang penggunaan pasir untuk tayammum dan hukum berkaitan dengan jilatan anjing dalam suatu wadah.
1. Tayammum dengan Pasir Halus
Para sahabat memasukkan pasir halus ke dalam kategori turab (tanah), sehingga tayammum dengan pasir baik yang kasar maupun yang halus tetap diperbolehkan. Apabila pasir tersebut digiling atau ditumbuk hingga menjadi lebih halus, maka tetap sah digunakan untuk tayammum.
Alasan dibolehkannya tayammum dengan pasir ini dapat karena mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, atau karena sifat turab tersebut mampu membersihkan hadas sebagaimana ketentuan syariat.
2. Hukum Berulangnya Jilatan Anjing dalam Satu Wadah
Apabila seekor anjing menjilat suatu wadah beberapa kali, terdapat perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Pendapat yang paling kuat menyatakan bahwa meskipun jilatan terjadi berulang kali, hal tersebut dihitung sebagai satu najis, dan cukup dibersihkan dengan membasuhnya sebanyak tujuh kali.
Jika terdapat najis lain selain jilatan anjing pada wadah tersebut, maka tetap cukup dibersihkan dengan tujuh kali basuhan.
Kewajiban membasuh tujuh kali ini berlandaskan pada keberadaan liur anjing itu sendiri yang menjadi sebab utama najisnya. Bahkan apabila anjing mengeluarkan liur tanpa menjilat secara langsung misalnya hanya menetes maka tetap wajib dibasuh tujuh kali.
Untuk muntah anjing, yakni cairan yang keluar dari perutnya, para ulama menilai bahwa cairan tersebut sangat berpotensi bercampur dengan liurnya. Karena itu, najisnya tetap diperlakukan sama, yaitu dibasuh tujuh kali.
Apabila terdapat makanan yang telah dijilat oleh anjing, maka bagian makanan yang diyakini tidak tersentuh tetap boleh dimakan, sedangkan sisanya yang terkena najis harus dibuang.
Namun apabila seseorang tidak mengetahui apakah makanan tersebut dijilat anjing atau tidak, maka hukumnya kembali kepada kondisi mulut anjing. Jika mulut anjing dalam keadaan basah, dihukumi najis. Jika kering, maka tidak dihukumi najis, dan kembali kepada hukum asal yaitu suci.



