
Perumpamaan (Tamtsil) Al-Qur’an dalam Menjelaskan Kehidupan Setelah Mati
Senin, 3 November 2025 kembali dilaksanakan halaqah tauhid yang membahas tentang perumpamaan (tamtsīl) mengenai kehidupan akhirat. Perumpamaan (tamtsīl) mengenai hal tersebut yang terdapat dalam syariat (al-Qur’an & hadits) ini lebih mudah dipahami oleh kebanyakan manusia dan lebih mampu menggerakkan jiwa mereka terhadap hal-hal yang ada di sana (yakni kehidupan akhirat).
Adapun perumpamaan ruhani (spiritual), maka pengaruhnya terhadap jiwa manusia lebih lemah dibandingkan dengan perumpamaan jasmani. Sebab kebanyakan manusia lebih mudah tergerak oleh hal-hal yang bersifat indrawi yang dapat mereka lihat dan rasakan daripada oleh hal-hal yang bersifat ruhani. Oleh karena itu, sesuatu yang jasmani lebih kuat menggerakkan jiwa mereka dibandingkan dengan sesuatu yang ruhani.
Prof. Mujib memberikan contoh, “kita makan roti dan minum teh di pagi hari itu rasanya nikmat”, kemudian kita senang dan bahagia, ini merupakan contoh kebahagiaan jasmani. Jikalau bersamaan dengan itu kemudian datang orang tua menjenguk ankanya ke asrama, sangat bahagia anak itu, karena yang durasakan adalah kebahagiaan ruhani bukan jasmani. Kedamaian hati adalah kebahagiaan sejati.
Namun demikian, bagi kalangan cendekiawan dan para ahli kalam yang mendalam pengetahuannya, justru perumpamaan ruhani lebih mudah diterima daripada perumpamaan jasmani, karena mereka lebih memahami maknanya yang mendalam. Sedangkan kebanyakan manusia justru lebih terpengaruh oleh hal-hal jasmani yang nyata.
Sebagaimana mudahnya pemahaman jasmani bagi orang awam, al-Qur’an al-‘Aziz banyak memberikan dalil yang menunjukkan bahwa ada keserupaan antara keadaan duniawi dengan keadaan akhirat, karena akal tidak dapat memahami hal-hal gaib kecuali dengan membandingkannya dengan hal-hal yang nyata dan dapat dirasakan bersama.
Semuanya itu termasuk dalam kategori qiyās (analogi), seperti mengukur kemungkinan adanya sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang serupa yang ada. Maksudnya adalah mengukur kemungkinan adanya sesuatu yang lebih kecil berdasarkan adanya sesuatu yang lebih besar. Contohnya firman Allah Ta‘ala:
“Dan Dia membuat perumpamaan bagi Kami serta melupakan penciptaan dirinya. Dia berkata: ‘Siapakah yang akan menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur?’ Katakanlah: ‘Yang akan menghidupkannya adalah (Allah) yang menciptakannya pertama kali.” (Yā Sīn: 78–79).
Adapun pengukuran kemungkinan adanya sesuatu yang lebih kecil berdasarkan adanya sesuatu yang lebih besar, contohnya firman-Nya Ta‘ala dalam ayat:
“Bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi berkuasa untuk menciptakan yang serupa dengan mereka?” (Yā Sīn: 81).
Ayat-ayat ini mengandung dalil yang pasti atas kebangkitan, dan menolak alasan orang yang mengingkari kebangkitan.
Dalam hal ini Prof. Mujib mengatakan “jikalau menciptakan dari ketiadaan saja Allah mampu, apalagi dari yang sudah ada hanya mengembalikannya kembali seperti semula.”
Perumpamaan (tamtsīl) yang terdapat dalam syariat kita ini lebih mudah dipahami oleh kebanyakan manusia dan lebih mampu menggerakkan jiwa mereka terhadap hal-hal yang ada di sana (yakni kehidupan akhirat). Dan yang lebih utama serta dimaksudkan pertama kali oleh syariat adalah agar manusia memahami makna yang tersirat di balik perumpamaan itu.
Adapun perumpamaan ruhani (spiritual), maka pengaruhnya terhadap jiwa manusia lebih lemah dibandingkan dengan perumpamaan jasmani. Sebab kebanyakan manusia lebih mudah tergerak oleh hal-hal yang bersifat indrawi — yang dapat mereka lihat dan rasakan — daripada oleh hal-hal yang bersifat ruhani. Oleh karena itu, sesuatu yang jasmani lebih kuat menggerakkan jiwa mereka dibandingkan dengan sesuatu yang ruhani.


