
Kajian Tafsir Surah Hud: Keteguhan Risalah dan Mukjizat Kenabian
Rabu, 5 November 2025 kembali dilaksanakan halaqah tafsir kajian kitab Shafwat at-Tafasir karya Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni jilid kedua, dengan fokus pada penafsiran awal Surah Hud yang diampu oleh Ustadz Prof. Dr. Hj. Abdullah Karim, M.Ag.
Sebagaimana dijelaskan dalam bagian bayna yaday as-sūrah, Surah Hūd diawali dengan pengantar yang menampilkan kesinambungan risalah kenabian, dimulai dari kisah Nabi Nuh ‘alaihis-salam sebagai “Abu al-Bashar ats-Tsānī” yang menunjukkan keteguhan dan kesabaran dalam menghadapi kaumnya hingga datangnya banjir besar sebagai bentuk keadilan Allah.
Selanjutnya, pembahasan beralih pada menyoroti kisah Nabi Hud ‘alaihis-salam, yang menjadi nama surah ini sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya dalam menyeru kaum ‘Ad yang sombong dan congkak. Mereka merasa tak terkalahkan dengan kekuatan fisik dan kekuasaan duniawi hingga berkata, “Man asyaddu minnā quwwah?”, “Siapa yang lebih kuat dari kami?” Namun kesombongan itu justru menjadi sebab kehancuran mereka. Allah menimpakan angin topan yang dahsyat, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: “Tilka ‘Ādun jahadū bi āyāti rabbihim wa ‘aṣaw rusulahu wa ittaba‘ū amra kulli jabbārin ‘anīd.” Kisah ini menjadi pelajaran moral tentang akibat kesombongan dan pembangkangan terhadap risalah ilahi.
Kajian kemudian berlanjut pada kisah Nabi Salih dan kaum Tsamud, diikuti kisah Nabi Syuaib serta Nabi Musa dan Harun ‘alaihimus-salam. Setiap kisah menunjukkan pola yang sama: penolakan kaum terhadap kebenaran, peringatan para rasul, dan akhirnya kehancuran kaum zalim sebagai sunnatullah yang berlaku sepanjang sejarah.
Selain itu, pembahasan linguistik terhadap Surah Hud turut dikemukakan, di antaranya makna kata “uḥkimat āyātuh” (ayat-ayatnya disusun dengan sempurna tanpa cela) dan “ummah ma‘dūdah” yang berarti masa waktu yang terbatas. Dalam aspek sebab turun (asbab an-nuzul), dikisahkan bahwa ayat “Alā innahum yathnūna ṣudūrahum liyastakhfū minhu” turun berkenaan dengan al-Akhnas ibn Syuraiq, seorang munafik yang menampakkan kelembutan di hadapan Nabi ﷺ namun menyimpan kebencian di hatinya.
Dalam penafsiran ayat, pemateri menjelaskan bahwa makna huruf muqatta‘ah (الر) yang berfungsi littanbīh, yakni untuk menarik perhatian pendengar terhadap keagungan firman Allah dan mempersiapkan hati mereka menerima pesan wahyu. Huruf-huruf pembuka seperti ini bukan sekadar hiasan simbolik, melainkan mengandung nilai retoris yang dalam, menggugah kesadaran dan kekhusyukan. Pada bagian ini pula dijelaskan mengenai tujuan mukjizat para nabi, yang tidak lain adalah sebagai bukti nyata atas kebenaran risalah dan tanda kekuasaan Allah. Mukjizat berfungsi menegaskan kebenaran dakwah, memperkuat keimanan para pengikut, dan menjadi hujjah terhadap kaum yang mendustakan kebenaran.
Kajian ditutup dengan penegasan makna ayat pembuka: “Kitābun uḥkimat āyātuh thumma fuṣṣilat min ladun ḥakīmin khabīr,” bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang disusun dengan hikmah dan dijelaskan secara rinci oleh Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pesan utama Surah Hūd, sebagaimana dijelaskan Syaikh ash-Shabuni, adalah penguatan tauhid, kesabaran dalam dakwah, dan pengingat bagi umat agar tidak terjerumus pada kesombongan dan kezaliman sebagaimana kaum-kaum terdahulu.
Kajian hari ini menjadi refleksi mendalam atas kesinambungan risalah para rasul serta penegasan bahwa setiap ujian dan perlawanan terhadap kebenaran adalah bagian dari jalan kenabian yang penuh hikmah dan ujian.



