Kajian Fiqh: Cara Menyucikan Najis
Kamis, 20 November 2025, telah terlaksana kembali kegiatan halaqah kajian kitab fikih Kifayatul Akhyar dan dipimpin langsung oleh Bapak Dr. Nuril Khasyi’in, Lc., M.A., selaku ustadz narasumber kajian.
Pada pertemuan hari ini, pembahasan yang diangkat itu mengenai mencuci najis dan hadas, khususnya penjelasan teknis terkait tata cara menyucikan najis menurut fikih. Beliau menyampaika bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa dalam proses membasuh najis itu dianjurkan untuk disertai niat, misalnya dengan ungkapan “sengajaku mengguyurkan air atas najis yang ada pada cucian ini karena Allah Ta’ala.” Namun, terdapat pula pendapat lain yang menyatakan bahwa penyucian najis tidak disyaratkan adanya lafaz niat seperti itu.
Pemateri juga menjelaskan tata cara menyucikan pakaian yang terkena najis. Urutannya adalah: pertama-tama letakkan pakaian ke dalam wadah seperti ember, baskom, atau mesin cuci kemudian baru berikan sabun atau bahan pembersi dan setelah itu baru datangkan air atau tuangkan air.
Pembahasan kemudian berlanjut pada penjelasan mengenai najis berupa air kencing anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa anak yang dimaksud adalah yang berusia maksimal dua tahun dan masih menyusu kepada ibunya. Untuk anak laki-laki, najisnya itu cukup diperciki air, sedangkan untuk anak perempuan harus dibasuh hingga bersih. Namun, jika anak laki-laki tersebut sudah pernah mengecap makanan seperti madu atau kurma pada saat tasmiyah, maka status najisnya berubah sehingga harus dibasuh dan tidak cukup hanya diperciki. Pemateri juga menambahkan bahwa beberapa ulama memandang perbedaan hukum ini disebabkan oleh perbedaan bau dan kekentalan air kencing.
Di samping itu, dijelaskan pula bahwa sebagian ulama memahami perbedaan hukum tersebut berdasarkan konteks sosial pada masa dahulu. Anak laki-laki biasanya lebih sering dibawa bepergian dan digendong ke mana-mana sehingga terdapat keringanan ketika membersihkan kencingnya. Meskipun demikian, pemateri mengingatkan bahwa ada pula pendapat yang tidak melihat aspek bau atau kondisi sosial, melainkan cukup berpegang pada redaksi hadis yang menjadi dasar ketentuan hukum tersebut.
Setelah sesi pembacaan kitab dan pemaparan materi dari pemateri, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Para mahasiswa pun aktif dan antusias bertanya kepada beliau. Akhirnya kegiatan berjalan dengan tertib dan penuh khidmat.

