
Kapan Orang yang Bertayamum Harus Mengqadha (Mengganti) Shalatnya?
Kamis, 16 Oktober 2025, telah dilaksanakan kembali kegiatan halaqah rutin mahasiswa Program Khusus Ulama (PKU) bertempat di Masjid Kampus Abdurrahman Ismail. Kegiatan ini merupakan bagian dari program pembinaan keilmuan dan penguatan pemahaman fiqh bagi mahasiswa PKU.
Kajian ini dibimbing langsung oleh bapak Dr. Nuril Khasyi’in, Lc., M.A., dengan pembahasan kitab Fiqh Kifayah al-Akhyar. Adapun tema yang diangkat dalam halaqah tersebut adalah “Kapan Orang yang Bertayamum Harus Mengqadha (Mengganti) Shalatnya.”
Dalam pemaparannya, Dr. Nuril Khasyi’in menjelaskan beberapa hukum penting terkait tayamum. Beliau menegaskan bahwa seseorang yang telah melaksanakan shalat dengan tayamum di tempat atau daerah yang memang kebiasaannya tidak memiliki air, maka shalatnya sah dan tidak wajib diqadha. Namun, jika seseorang bertayamum di tempat yang sebenarnya biasa terdapat air, maka shalat yang dilakukan wajib diulang (diqadha), baik ia dalam keadaan mukim maupun musafir. Akan tetapi, kemudian jika seseorang yang sedang berada di pesawat, kapal, atau kereta api, dan air hanya tersedia dalam jumlah terbatas untuk kebutuhan minum, maka tayamumnya tetap sah dan tidak perlu mengqadha shalatnya, karena hal itu termasuk dalam kondisi darurat.
Beliau juga menjelaskan perbedaan antara tayamum dan wudhu dalam hal pembatalan akibat murtad. Menurut keterangan para ulama, murtad dapat membatalkan tayamum, karena tayamum tidak mengangkat hadas, melainkan hanya memberikan keringanan sementara akibat tidak adanya air atau udzur lainnya. Sedangkan wudhu tidak batal dengan kemurtadan, sebab ia telah mengangkat hadas secara hakiki.
Selain itu, Dr. Nuril juga memberikan penjelasan tentang orang yang memiliki perban atau balutan luka. Jika seseorang dalam kondisi demikian telah bertayamum dan melaksanakan shalat, maka tidak perlu mengulang shalatnya, selama ia meyakini bahwa perban tersebut dalam keadaan suci. Namun, apabila perban tersebut dapat dilepas tanpa menimbulkan mudarat, maka ia wajib melepaskannya dan bersuci sebagaimana biasa. Jika membahayakan, maka cukup mengusap bagian yang diperban atau membasuh sisi yang sehat di sekitarnya, atau menggunakan debu sebagai pengganti air pada bagian yang tidak bisa terkena air.