
Pembahasan Niat Tayammum: Kajian Kitab Kifayatul Akhyar
Pada hari Kamis, 4 September 2025, ba’da Ashar, bertempat di Masjid Abdurrahman Isma‘il, telah diselenggarakan Kajian Fikih Rutin yang merupakan kelanjutan dari halaqah sebelumnya dengan pembahasan seputar tayamum. Kajian ini mengkaji salah satu karya ulama besar, Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, yaitu Kifayatul Akhyar fī Halli Ghayatil Ikhtishar.
Kegiatan ini dibuka oleh Pembimbing Halaqah, Ustaz Dr. Nuril Khasyiin, Lc., M.A., yang memberikan pengantar sekaligus arahan awal jalannya pembahasan. Dalam pengantarnya, beliau menegaskan pentingnya penataan niat dalam menuntut ilmu. Walaupun waktu belajar singkat, Allah tetap dapat melimpahkan tambahan pemahaman kepada hamba-Nya yang ikhlas menata niat.
Beliau menjelaskan lima niat utama yang sebaiknya ditanamkan ketika menuntut ilmu. Pertama, merendahkan hati dengan menyadari keterbatasan diri, sebab hanya orang yang merasa kurang pengetahuanlah yang akan terus bersemangat untuk belajar. Kedua, berbakti kepada orang tua. Ketiga, membersihkan hati dari sifat-sifat tercela. Keempat, meninggikan syiar agama Allah. Kelima, mengambil warisan Rasulullah ﷺ. Dengan menata niat dalam lima hal tersebut, Allah akan membukakan pintu pemahaman bagi seorang penuntut ilmu.
Selain itu, beliau mengingatkan bahwa dalam menuntut ilmu, seorang penuntut ilmu hendaknya senantiasa membuka hati. Belajar akan lebih bermakna apabila dijalani dengan hati yang ikhlas, lapang, dan dipenuhi kegembiraan. Rasa gembira ketika menimba ilmu akan menumbuhkan semangat, memudahkan pemahaman, serta menjauhkan diri dari rasa berat dan terpaksa. Dengan suasana hati yang jernih dan riang, ilmu akan lebih mudah meresap dan membekas dalam jiwa.
Beliau juga menegaskan bahwa dalam satu bab fikih saja terdapat begitu banyak cabang pembahasan yang luas dan mendalam. Setiap cabang hukum memiliki rincian, perbedaan pandangan ulama, serta hikmah yang dapat dipelajari. Oleh karena itu, kesungguhan, ketekunan, dan kesabaran sangat diperlukan agar seseorang tidak hanya berhenti pada pemahaman permukaan, tetapi juga mampu menggali kedalaman makna hukum-hukum syariat yang terkandung di dalamnya.
Kajian kemudian berlanjut pada uraian mengenai niat dalam tayamum untuk membolehkan shalat sebagaimana dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar. Beliau menerangkan empat keadaan. Pertama, apabila berniat untuk membolehkan shalat wajib sekaligus sunnah, maka keduanya dapat dikerjakan. Kedua, apabila berniat hanya untuk shalat wajib, baik salah satu dari shalat lima waktu maupun shalat yang dinazarkan, maka tetap diperbolehkan melaksanakan shalat sunnah. Ketiga, apabila niat ditujukan hanya untuk shalat sunnah, maka tayamum tersebut hanya berlaku untuk shalat sunnah dan tidak sah untuk shalat fardu. Keempat, apabila berniat sekadar untuk shalat tanpa menyebut fardu maupun sunnah, maka hukumnya sama dengan niat tayamum untuk shalat sunnah saja.
Dengan demikian, kajian berjalan dengan lancar, khidmat, serta ditutup dengan doa bersama.