
Menimbang Makna Keadilan Allah: Telaah al-Kas̱yfu ʿan Manāhij al-Adillah
Senin, 8 September 2025, ba’da salat Ashar, telah diselenggarakan kembali Halaqoh Tauhid yang dipimpin langsung oleh Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.Ag., dengan membacakan dan menjelaskan salah satu karya monumental dari Ibnu Rusyd al-Hafid, yaitu al-Kas̱yfu ʿan Manāhij al-Adillah fī ʿAqāʾid al-Millah.
Teks yang dibacakan pada kesempatan ini berfokus pada pembahasan tentang hubungan antara penciptaan kebaikan dan keburukan oleh Allah serta makna keadilan-Nya. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa meskipun Allah menciptakan sebab-sebab kesesatan, hal itu bukanlah bentuk kezaliman, karena justru dari sebab-sebab tersebut lebih banyak lahir hidayah.
Diterangkan pula bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak berbeda dalam persoalan ini dimaksudkan untuk menegaskan kepada umat manusia bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Adil dan satu-satunya pencipta segala sesuatu, baik kebaikan maupun keburukan. Dengan demikian, tidak benar keyakinan sebagian umat terdahulu yang meyakini adanya dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan pencipta keburukan.
Selanjutnya, Ibnu Rusyd menekankan bahwa Allah menciptakan keburukan bukan sebagai tujuan utama, melainkan demi tercapainya kebaikan yang lebih besar. Beliau mencontohkan api, yang diciptakan untuk menopang kehidupan meski kadang menimbulkan kerusakan. Namun, manfaat api jauh lebih besar daripada mudaratnya, sehingga penciptaannya tetap merupakan kebaikan dan keadilan dari Allah.
Dalam penjelasannya, Prof. Mujiburrahman juga menambahkan refleksi dari Muhammad Iqbal, yang mengatakan bahwa ketika manusia melakukan kesalahan atas dasar pilihannya sendiri, maka ia akan menyesal, dan pada saat itulah ia benar-benar merasakan dirinya sebagai manusia. Pernyataan ini menekankan pentingnya kebebasan dan tanggung jawab dalam kehidupan manusia.
Selain itu, ketika beliau membacakan teks Ibnu Rusyd yang berbunyi خالق للشر من أجل الخير (pencipta keburukan demi kebaikan), beliau mengutip perumpamaan dari almarhum Guru Zuhdi. Guru Zuhdi pernah berkata, “Bila batis tasilahu, lalu datang ke tukang urut, maka diurutlah batis itu dan terasa sakit luar biasa. Namun rasa sakit itu untuk kesembuhan. Setelah selesai diurut dan kita merasa lebih baik, justru kita memberi uang kepada tukang urut yang telah menyakiti kita.” Perumpamaan ini menggambarkan bahwa keburukan yang ditetapkan Allah terkadang hanyalah jalan menuju kebaikan yang lebih besar.
Dengan demikian, halaqoh sore ini berhasil memberikan pemahaman mendalam kepada peserta tentang cara pandang Ibnu Rusyd dalam mengharmonisasikan teks-teks Al-Qur’an mengenai takdir, keadilan, dan penciptaan kebaikan maupun keburukan oleh Allah SWT, serta memperkaya perspektif dengan refleksi tokoh-tokoh besar.