PEMIKIRAN TEOLOGIS DAN FILOSOFIS TENTANG PENCIPTAAN, SEBAB-AKIBAT, DAN USAHA MANUSIA DALAM KERANGKA PEMIKIRAN IBN RUSYD

Pada hari ini, Senin, 2 Juni 2025, telah dilaksanakan kembali halaqah rutinan di Masjid Abdurrahman Ismail, UIN Antasari Banjarmasin. Kajian ini disampaikan oleh Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A., dengan membahas lanjutan dari kitab Al-Kashf ʿan Manāhij al-Adillah fī ʿAqāid al-Millah karya Ibnu Rusyd.
Pada kajian ini, disampaikan bahwa tidak ada pencipta selain Allah SWT. Hal ini didasarkan pada hakikat bahwa semua makhluk merupakan jauhar (substansi), dan makna inilah yang Allah isyaratkan melalui sebuah perumpamaan dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya orang-orang yang kalian seru selain Allah itu tidak mampu menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan mampu merebutnya kembali.” (QS. Al-Hajj: 73)
Ayat ini menunjukkan kelemahan makhluk dalam mencipta, bahkan untuk hal yang sangat kecil sekalipun. Allah SWT juga menunjukkan keagungan-Nya dalam dialog antara Nabi Ibrahim dan Raja Namrud. Ketika Namrud menyatakan, “Aku menghidupkan dan mematikan,” Ibrahim menjawab dengan menunjukkan ketidakkonsistenannya: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat jika engkau benar.”
Dari sini dipahami bahwa hakikat pencipta hanya milik Allah, bukan makhluk. Sebab, menurut Ibnu Rusyd, pencipta adalah Zat yang menciptakan substansi. Ini sejalan dengan firman Allah: “Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat.” (QS. As-Saffat: 96)
Pada zaman klasik, konsep atom (jauhar fard) telah dikenal. Telah dipahami pula bahwa substansi tidak dapat hilang, melainkan hanya berubah bentuk. Manusia tidak menciptakan substansi, tetapi hanya mengubah bentuknya.
Seperti kata Aristoteles, maddah (materi) dan surah (bentuk) adalah dua hal yang berbeda. Inti dari atom adalah gerak. Ibnu Rusyd memahami bahwa Tuhan adalah penggerak pertama yang tidak digerakkan, mirip dengan konsep clockmaker (pembuat jam). Sementara itu, teologi Asy‘ariyyah berpendapat bahwa Allah terus-menerus menciptakan, sehingga tidak ada satu detik pun dalam hidup ini yang lepas dari kehendak dan kekuasaan Allah.
Kendati demikian, Ibnu Rusyd tetap meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Ia menolak pandangan sekuler dan agnostik yang berpendapat bahwa alam semesta ada dengan sendirinya tanpa pencipta.
Ibnu Rusyd juga mengkritik keras kelompok yang menolak konsep sebab-akibat. Sebab, membatalkan sebab-akibat berarti menolak hikmah dan ilmu pengetahuan. Hikmah hanya bisa dipahami jika manusia menerima hubungan kausalitas.
Tiga fungsi ilmu pengetahuan berdasarkan sebab-akibat: Pertama, menjelaskan, karena setiap gejala merupakan akibat dari suatu sebab, kedua meramalkan, karena dengan memahami sebab-akibat, ilmu dapat membuat prediksi (jika-maka). Ketiga, mengendalikan, karena dengan mengetahui hubungan sebab-akibat, manusia dapat melakukan peringatan dan intervensi.
Adapun ciri-ciri ilmu yang ilmiah yaitu:
- Rasional, yakni dapat diterima oleh akal sehat,
- Empiris, yakni dapat dibuktikan melalui kenyataan dan pengalaman.
Dalam majelis taklim, agama dipelajari untuk diamalkan. Namun di perguruan tinggi, agama dipahami secara ilmiah terlebih dahulu agar pengamalannya menjadi lebih bijak dan berdasar.
Menolak sebab-akibat yang berjalan atas izin Allah berarti menolak hikmah. Padahal, hikmah adalah mengenal sebab sebagai sarana menuju tujuan. Maka, pandangan ekstrem yang sepenuhnya menolak sebab-akibat adalah keliru dan tidak rasional.
Setiap perbuatan pasti memiliki pelaku. Dalam metode berpikir Islam, terdapat pola analogi: qiyasus syahadah ‘alal ghaib, mengqiyaskan hal yang tampak (empiris) terhadap yang gaib.
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa menolak sebab-akibat sama artinya dengan menolak adanya pencipta bagi alam. Maka jelaslah bahwa manusia memiliki usaha (kasb). Pendapat-pendapat ekstrem seperti Mu’tazilah (menegaskan kehendak manusia secara mutlak) dan Jabariyyah (meniadakan kehendak manusia) ditolak karena menyimpang dari keseimbangan.
Pandangan yang moderat adalah seperti yang dianut oleh Asy‘ariyyah, yang menyatakan bahwa Allah menciptakan sebab-akibat, dan manusia memiliki kehendak dalam batas yang ditetapkan-Nya. Ibnu Rusyd juga menegaskan bahwa usaha (kasb) adalah bagian dari kehendak manusia. Namun, hubungan sebab-akibat tersebut tetap dalam cakupan kehendak dan ciptaan Allah. Dengan demikian, Allah-lah yang menggerakkan segala sesuatu.