Menelaah Takdir dalam Kitāb al-Qadr Ṣaḥīḥ Muslim
Pada hari Ahad, 8 Juni 2025, telah dilaksanakan kegiatan rutin halaqah hadis dalam rangkaian Program Khusus Ulama (PKU) UIN Antasari Banjarmasin. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk pembinaan keilmuan dan spiritual bagi para peserta program yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas ilmiah berbasis turats, khususnya dalam bidang ilmu hadis. Halaqah ini dilaksanakan secara daring melalui platform Google Meet, dimulai pukul 07.30 hingga 08.30 WITA, dengan bimbingan langsung dari dosen pengampu, Dr. Dzikri Nirwana, M.Ag.
Pertemuan ke-13 ini mengangkat tema Kitāb al-Qadr, dengan fokus pembahasan pada bab ke-4, hadis ke-2655 dari kitab Ṣaḥīḥ Muslim. Hadis ini membicarakan secara eksplisit tentang ketetapan Allah atas segala sesuatu, termasuk kelemahan dan kecerdasan, sebagai bagian dari keimanan kepada takdir.
Kegiatan diawali dengan pembacaan matan hadis dan terjemahannya oleh saudari Patimatul Husna. Hadis tersebut berbunyi:
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ، قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، وَحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ مَالِكٍ، فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ، عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَاوُسٍ، أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَقُولُونَ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ. وَسَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ، حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ” أَوْ “الْكَيْسِ وَالْعَجْزِ”
Setelah pembacaan matan, sesi dilanjutkan dengan penjelasan syarah hadis oleh Sri Suparsih, yang membahas makna redaksi dan relevansi hadis dalam konteks keimanan terhadap takdir. Selanjutnya, Auliya Rahmawati memaparkan hikmah dari kandungan hadis tersebut. Di antara hikmah yang disampaikan adalah: (1) memperkuat keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah; (2) membentuk sikap tawakkal setelah melakukan ikhtiar; (3) menjauhkan diri dari kesombongan atas kecerdasan dan keputusasaan atas kelemahan; serta (4) menanamkan kesadaran atas keadilan Allah dalam memberikan kondisi, kemampuan, dan hasil yang berbeda-beda kepada setiap hamba.
Sebagai pelengkap kajian, Husna Maulida menyampaikan takhrīj al-ḥadīṡ, dengan menyebutkan bahwa hadis ini juga tercantum dalam al-Muwaṭṭa’ karya Imam Mālik dan Musnad Ahmad bin Ḥanbal, menunjukkan bahwa hadis tersebut memiliki jalur periwayatan yang kuat dan diterima dalam berbagai kitab hadis utama.
Setelah pemaparan materi selesai, sesi diskusi dibuka. Salah satu peserta, Nabila Rizqi Amalia, mengajukan pertanyaan menarik mengenai seseorang yang mengetahui masa depan lalu mencoba menghindari kematian yang telah ditetapkan: apakah hal tersebut termasuk dalam kategori melawan takdir? Pertanyaan tersebut dijawab oleh pemateri bahwa tindakan tersebut tetap berada dalam cakupan takdir. Semua usaha manusia, termasuk pilihan dan penghindaran terhadap suatu hal, tetap terjadi dalam lingkup kehendak dan ketetapan Allah. Pengetahuan tentang masa depan, menurut pemateri, sering kali bersifat spekulatif, bisa berasal dari dugaan, kebetulan, atau bahkan bisikan syaitan. Oleh sebab itu, pengetahuan seperti itu tidak dapat dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa seseorang melawan takdir.
Menanggapi diskusi tersebut, Dr. Dzikri Nirwana, M.Ag., menambahkan penjelasan penting mengenai klasifikasi takdir dalam Islam, yaitu mubram (takdir yang tidak bisa diubah) dan mu‘allaq (takdir yang masih bergantung pada sebab, seperti usaha dan doa). Beliau menegaskan pentingnya semangat berikhtiar dan berdoa, sebagaimana dalam hadis Nabi ﷺ: “Lā yaruddu al-qaḍā’ illā al-du‘ā’” (Tidak ada yang dapat menolak ketetapan Allah selain doa). Selama manusia tidak mengetahui secara pasti takdirnya, maka ia dianjurkan untuk senantiasa berdoa agar ditetapkan dalam takdir yang baik dan dijauhkan dari ketetapan yang buruk.
Halaqah ditutup tepat pukul 08.30 WITA dengan doa dan harapan agar kajian ini menambah kedalaman ilmu serta memperkuat akidah para peserta terhadap rukun iman yang keenam, yaitu iman kepada takdir. Kegiatan ini tidak hanya menjadi media transfer keilmuan, tetapi juga sebagai ruang pembentukan sikap spiritual dan intelektual yang seimbang sesuai karakter ulama rabbani.