Kezaliman dan Keadilan: Anehnya Pendapat Asy’ariyah

Ba’da Maghrib, Selasa, 3 Juni 2025, di Masjid Abdurrahman Isma’il, telah terlaksana kajian tauhid rutin dengan Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A., sebagai pemimpin telaah kajian terhadap salah satu karya Ibnu Rusyd, yaitu Al-Kasyf ʿan Manāhij al-Adillah fī ʿAqāʾid al-Millah. Tema malam itu menyoroti persoalan kezaliman dan keadilan dalam pandangan kalangan Asy’ariyah. Kajian berlangsung khidmat dan menggugah pemikiran, terlebih ketika dibahas betapa kontroversialnya klaim sebagian teolog Asy’ari bahwa tidak ada keadilan atau kezaliman yang esensial—segala sesuatu dinilai berdasarkan ketetapan syariat semata.
Dalam pemaparannya, Prof. Mujiburrahman menjelaskan bahwa kelompok Asy’ariyah berpendapat semua perbuatan Allah adalah adil karena Dia tidak terikat oleh hukum syariat. Oleh karena itu, jika syariat menyuruh syirik atau maksiat, maka perbuatan itu pun dianggap adil. Pendapat ini dinilai sangat janggal, sebab menghilangkan nilai moral universal dari keadilan dan kezaliman itu sendiri. “Jika semua bergantung pada syariat, maka tidak ada lagi makna bahwa keadilan itu baik pada dirinya sendiri, dan kezaliman buruk pada dirinya sendiri,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Mujiburrahman menegaskan bahwa Al-Qur’an secara eksplisit menolak anggapan bahwa Allah bisa berlaku zalim. Ayat-ayat seperti “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun…” (Yunus: 44) serta “Tuhanmu tidak menzalimi hamba-hamba-Nya…” (Ali Imran: 182) menunjukkan bahwa keadilan Allah adalah prinsip mutlak, bukan sekadar ketetapan syariat. Dalam konteks ini, beliau menyampaikan penjelasan tambahan bahwa “Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, memberikan yang hak sesuai haknya, dan seimbang. Sedangkan zalim adalah tidak adil.”
Kajian ditutup dengan sintesis bahwa ayat-ayat yang menyebut Allah menyesatkan sebagian manusia tidak boleh dipahami secara literal, melainkan sebagai bagian dari takdir yang mengaitkan tabiat makhluk dengan sebab-sebab kesesatan atau petunjuk. Perbedaan tabiat dan kondisi jiwa manusia menyebabkan sebagian ayat menjadi petunjuk bagi sebagian orang dan ujian bagi yang lain. Kajian malam itu membuka ruang diskusi hangat tentang pentingnya memahami tauhid dengan pendekatan akal sehat dan moral yang lurus.