Syarat Sah Tayammum: Kajian Fiqh Dalam kitab Kifayatul Akhyar

Kamis, 22 mei 2025, kembali dilaksanakan halaqah kajian fiqh rutinan yang diselenggarakan oleh mahasiswa Program Khusus Ulama (PKU) UIN Antasari Banjarmasin bertempat di Masjid Kampus. Kajian ini menggunakan kitab Kifayatu al-Akhyar karya Imam Taqiyuddin Abu Bakr al-Husaini ad-Dimasyqi, dengan pemateri KH. M. Ghazali Mukeri, LC.
Melanjutkan pembahasan sebelumnya yang membahas tentang syarat sah Tayammum, yaitu salah satunya adalah Niat. Niat dalam tayamum sebagai syarat sah pengganti wudhu. Penjelasan ulama menyatakan bahwa tayamum tidak cukup dilakukan dengan sekadar menyentuh atau mengusap debu, tetapi wajib disertai niat bersuci sejak awal, tepatnya saat memindahkan debu ke tangan. Jika niat tersebut tertunda atau dilakukan setelah gerakan awal, maka tayamum menjadi tidak sah. Hal ini ditegaskan oleh ulama seperti Imam al-Mawardi.
Selain itu, disini juga membahas tentang jenis debu yang boleh digunakan. Dalam konteks ini, Al-Qur’an menggunakan istilah ṭayyib yang dalam hadis diartikan sebagai ṭahūr (suci menyucikan). Maka, tanah atau debu yang digunakan harus suci, tidak bercampur dengan najis maupun benda suci lain seperti tepung. Meskipun tidak tampak secara kasat mata, campuran dengan bahan lain tetap membuat debu tidak sah digunakan untuk tayamum, sebagaimana ditegaskan dalam pendapat Imam Nawawi.
Adapun dalam pelaksanaan tayamum, debu yang telah digunakan (musta‘mal) di anggota tayamum seperti wajah atau tangan tidak boleh digunakan kembali. Debu baru yang belum menyentuh anggota tayamum sah digunakan. Hal ini berbeda dengan air musta‘mal dalam wudhu. Tayamum juga tidak mengangkat hadas sebagaimana wudhu, namun membolehkan seseorang melaksanakan ibadah yang disyaratkan suci. Maka dari itu, tayamum yang diniatkan untuk ibadah fardhu dapat mencakup ibadah lain, tetapi tidak sebaliknya.