Qadha dan Qadar dalam Pandangan Ibnu Rusyd: Antara Usaha Manusia dan Ketetapan Ilahi

Banjarmasin, Senin 12 Mei 2025Pada hari ini telah dilaksanakan kembali halaqah rutinan di Masjid Abdurrahman Ismail, UIN Antasari Banjarmasin. Kajian disampaikan oleh Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A., dengan membahas lanjutan dari kitab Al-Kashf ʿan Manahij al-Adillah fi ʿAqaid al-Millah karya Ibnu Rusyd.
Kajian kali ini berfokus pada pembahasan mendalam tentang konsep qadha dan qadar, yang menurut Ibnu Rusyd merupakan salah satu masalah paling rumit dalam teologi Islam karena adanya kontradiksi antara dalil-dalil wahyu dan argumentasi rasional. Ibnu Rusyd menyoroti bahwa jika manusia tidak memiliki kehendak dan daya usaha, maka seluruh perintah syariat seperti kesiapsiagaan terhadap bahaya atau upaya meraih kebaikan menjadi tidak masuk akal. Demikian pula, seluruh aktivitas manusia seperti pertanian, kedokteran, hingga strategi perang akan kehilangan maknanya jika semuanya sudah ditentukan secara mutlak tanpa peran manusia.
Menanggapi ini, Prof. Mujiburrahman menyampaikan bahwa “setiap usaha kita ada tanggung jawab kita memilih, akan tetapi kita terbatas pada sistem yang diciptakan Allah SWT yang mengatur alam semesta ini.” Dengan kata lain, kebebasan manusia tetap ada, namun berada dalam batasan tertentu yang merupakan bagian dari sistem ketetapan Tuhan.
Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa maksud syariat bukan untuk memisahkan dua pandangan ekstrem antara kebebasan mutlak dan keterpaksaan mutlak, tetapi untuk menyatukannya secara seimbang. Manusia diciptakan dengan potensi untuk memilih antara dua kemungkinan, tetapi keberhasilan dalam melakukan pilihan itu tetap bergantung pada faktor-faktor luar yang ditundukkan oleh Allah, dan inilah yang disebut sebagai qadar. Dalam konteks ini, Prof. Mujiburrahman menambahkan, “takdir itu ada yang bisa kita kendalikan dan ada yang tidak bisa kita kendalikan. Adapun takdir yang bisa ialah tanggung jawab kita memperjuangkannya, sementara yang tidak bisa kita lakukan adalah pengendalian terhadap hasil akhirnya.”
Ibnu Rusyd mengurai lebih lanjut bahwa kehendak manusia itu sendiri muncul karena adanya dorongan dari luar, baik berupa sesuatu yang diinginkan atau yang dihindari. Oleh sebab itu, meskipun manusia merasa memilih, kehendaknya selalu dipengaruhi oleh sesuatu yang datang dari luar dirinya, yang dalam pandangan teologis adalah bagian dari takdir ilahi. Hal-hal yang dapat kita perjuangkan dan kendalikan dalam ranah takdir mencakup dua aspek utama: usaha kita dan sikap kita.
Dengan penjelasan ini, Ibnu Rusyd ingin menegaskan bahwa pemahaman terhadap qadha dan qadar tidak bisa berhenti pada aspek tekstual semata, tetapi harus didekati secara rasional agar tidak terjebak dalam dikotomi yang memisahkan antara kehendak manusia dan kehendak Tuhan. Dalam penutupnya, Prof. Mujiburrahman menekankan bahwa “ketika suatu kegagalan mendatangi kita, akan tetapi kita telah berusaha, maka itu bermakna boleh jadi Allah belum mengizinkannya dalam hal itu.” Hal ini mencerminkan keseimbangan antara usaha manusia dan ketetapan ilahi.
Pembahasan selanjutnya, insyaAllah, akan dilanjutkan pada minggu depan dengan kelanjutan tema ini.