Ketepatan Niat sebagai Syarat Sah Tayammum: Kajian Kitab Kifayatu al-Akhyar

Selasa, 28 Mei 2025, kembali digelar halaqah rutin kajian fiqh yang diselenggarakan oleh mahasiswa Program Khusus Ulama (PKU) UIN Antasari Banjarmasin, bertempat di Masjid Kampus. Kajian ini mengacu pada kitab Kifayatu al-Akhyar karya Imam Taqiyuddin Abu Bakr al-Husaini ad-Dimasyqi, dengan KH. M. Ghazali Mukeri, Lc. sebagai pemateri. Fokus pembahasan kali ini adalah pendalaman tentang niat dalam tayammum sebagai salah satu syarat sahnya.
Dalam kajian tersebut, ditegaskan bahwa niat harus menyertai perbuatan tayammum sejak awal, tepatnya sebelum tangan diangkat dari debu saat memulai proses pemindahan debu atau memukul tangan ke tanah. Apabila niat dilakukan setelah gerakan awal tersebut, maka tayammum dianggap tidak sah. Penjelasan ini merujuk pada pendapat kuat (rajih) dalam kitab al-Syarh dan al-Raudhah, serta ditegaskan oleh ulama seperti Ibn al-Rif‘ah, bahwa meskipun memindahkan debu adalah bagian dari tayammum, namun ia tidak menjadi tujuan utama yang bisa menggantikan niat.
Lebih lanjut, KH. Ghazali menjelaskan empat bentuk atau kondisi niat yang memengaruhi keabsahan tayammum. Pertama, jika seseorang berniat untuk salat fardhu dan sunnah sekaligus, maka kedua jenis ibadah tersebut sah dilakukan. Ia bebas mengerjakan salat sunnah sebelum atau sesudah salat fardhu, baik di dalam waktu maupun di luar waktu. Bahkan, tidak wajib menyebutkan jenis salat fardhu secara spesifik; niat umum untuk salat fardhu sudah mencukupi. Kedua, jika niat hanya ditujukan untuk salat fardhu, baik itu salat lima waktu maupun salat nazar, maka salat fardhu tetap sah dilakukan, begitu pula salat sunnah yang mengikutinya. Hal ini karena salat sunnah dianggap sebagai pelengkap atau turunan dari salat fardhu.
Kondisi ketiga adalah ketika seseorang hanya berniat untuk salat sunnah, maka ia tidak diperkenankan melaksanakan salat fardhu karena tidak diniatkan sejak awal. Ini juga berlaku bagi tayammum yang diniatkan untuk keperluan menyentuh mushaf atau i‘tikaaf bagi orang yang junub, sebab kedudukannya dianggap sama dengan niat untuk ibadah sunnah. Bahkan, jika tayammum diniatkan khusus untuk salat jenazah, maka tetap tidak mencakup salat fardhu karena salat jenazah, meskipun wajib kifayah, tidak mengarah pada individu tertentu dan karenanya menyerupai ibadah sunnah. Keempat, jika seseorang hanya berniat untuk salat secara umum tanpa membedakan apakah itu fardhu atau sunnah, maka dihukumi sebagaimana orang yang meniatkan tayammum untuk salat sunnah, dan tidak diperbolehkan melaksanakan salat fardhu.
Kajian ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya ketepatan niat dalam tayammum, khususnya dalam mazhab Syafi‘i. Hal ini menjadi pengingat bahwa tayammum bukan hanya sekadar mengusap debu ke wajah dan tangan, namun ada ketentuan niat yang sangat menentukan sah tidaknya ibadah yang menyertainya. Acara ditutup dengan sesi tanya jawab yang aktif dan diskusi singkat tentang penerapan praktis tayammum dalam kondisi kekinian.