Antara Qodho (ketetapan) dan Qodar (ketentuan)

Pada hari ini, Senin, 26 Mei 2025, telah dilaksanakan kembali halaqah rutinan di Masjid Abdurrahman Ismail, UIN Antasari Banjarmasin. Kajian ini disampaikan oleh Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A., dengan membahas lanjutan dari kitab Al-Kashf ʿan Manāhij al-Adillah fī ʿAqāid al-Millah karya Ibnu Rusyd.
Dalam kajian ini, disampaikan bahwa usaha manusia untuk memperoleh sesuatu itu berjalan melalui qodho (ketetapan) dan qodar (ketentuan). Menggabungkan dua hal ini merupakan bentuk pemahaman yang sesuai dengan maksud syariat terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits umum yang tampak bertentangan. Ketika keumuman makna ayat dan hadits ini telah ditetapkan dalam pemahaman tersebut, maka pertentangan itu pun dapat terhapus, dan keraguan yang timbul dapat diselesaikan.
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa maksudnya adalah argumen-argumen rasional yang saling bertentangan. Segala sesuatu yang terjadi atas kehendak manusia, menurutnya, terwujud oleh dua hal: kehendak manusia sendiri dan sebab-sebab eksternal. Jika suatu perbuatan dikaitkan hanya dengan salah satu dari keduanya secara mutlak, maka keraguan-keraguan akan tetap muncul. Manusia diberi hak untuk memilih. Misalnya, ketika seseorang makan sebagai sebab, maka ia akan merasa kenyang sebagai akibat. Namun, Allah-lah yang menciptakan rasa kenyang tersebut. Pernyataan ini dianggap sebagai jawaban yang benar karena sesuai dengan syariat dan akal. Namun, dasar dari pernyataan ini adalah adanya hubungan sebab akibat antara pelaku dan akibat, sedangkan umat Islam telah sepakat bahwa tidak ada pelaku hakikat selain Allah.
Mengenai kesepakatan ini, menurut Ibnu Rusyd, dapat dijelaskan bahwa apa yang tampak sebagai sebab akibat dalam tindakan manusia pada dasarnya adalah bentuk majazi (kiasan), bukan hakiki. Sesungguhnya, sebab akibat itu terjadi karena Allah, dan Dialah yang menjaga keberadaan sistem tersebut. Allah-lah yang menciptakan substansi (jauhar) beserta aksiden (sifat) secara bersamaan. Dalam hal ini, Prof. Mujib mengumpamakan dengan sebuah benda, yakni mikrofon. Warna hitam dan tekstur keras yang melekat pada mikrofon adalah aksiden, sedangkan bendanya sendiri adalah substansi. Allah-lah yang menciptakan dan menjaga keberadaan keduanya.
Imam Al-Ghazali memberikan perumpamaan tentang orang yang menyekutukan sebab dari akibat dengan Allah, seolah pena dan penulis adalah dua pelaku. Padahal, pena bukanlah pelaku hakiki, tetapi hanya alat. Makna bahwa pena menulis dan penulis menulis adalah dua hal yang tampak sama secara bahasa, tetapi sangat berbeda secara hakikat. Menurut Ibnu Rusyd, perumpamaan ini dapat ditoleransi jika katib (penulis) diciptakan untuk substansi pena. Dalam hal ini, Allah adalah pelaku hakiki atas semuanya. Prof. Mujib memberikan perumpamaan: Ali sebagai penulis dan pena juga disebut sebagai “penulis”, namun yang hakikatnya menulis adalah Ali, sedangkan pena hanya majaz. Tulisan hanya bisa muncul karena ada pena, tetapi pena tidak bermakna tanpa Ali.
Dengan pandangan ini, maka dapat dipahami bahwa tidak ada pelaku hakiki (faʿil) selain Allah, baik berdasarkan indera, akal, maupun syariat. Adapun menurut indera dan akal, tampak bahwa sesuatu dapat menghasilkan sesuatu yang lain. Inilah sistem yang berlaku dalam keberadaan berdasarkan dua aspek: yaitu apa yang diciptakan oleh Allah berupa tabi’at dan jiwa, serta hal-hal yang mencakup perkara eksternal dari diri manusia.</p><!– /wp:paragraph –>