
Kriteria Sakit yang Membolehkan Tayammum: Kajian Fiqih
Tayammum merupakan salah satu bentuk rukhṣah (keringanan) dalam syariat Islam yang diberikan dalam kondisi tertentu, salah satunya adalah karena sakit. Namun, tidak semua jenis sakit dapat dijadikan alasan untuk bertayammum. Para ulama mengklasifikasikan kondisi sakit yang membolehkan tayammum ke dalam tiga kategori utama. Pertama, yaitu kondisi sakit yang apabila seseorang berwudu dengan air maka dikhawatirkan dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, anggota tubuh, atau fungsi anggota tubuh secara permanen. Dalam situasi ini, tayammum dibolehkan secara mutlak karena penggunaan air membawa dampak fatal terhadap keselamatan jiwa.
Kategori kedua adalah kondisi sakit yang apabila menggunakan air, dikhawatirkan akan memperparah rasa sakit, memperlambat proses penyembuhan, atau menyebabkan kondisi tubuh melemah secara drastis. Misalnya, penderita penyakit berat yang bisa langsung jatuh sakit atau lemah jika terkena air, atau penderita yang mengalami kerusakan parah pada bagian tubuh yang terbuka seperti wajah atau lengan. Dalam kondisi seperti ini, para ulama membolehkan tayammum karena penggunaan air menimbulkan mudarat yang nyata.
Sedangkan kategori ketiga adalah kondisi sakit yang ringan dan tidak menimbulkan bahaya serius. Contohnya adalah penyakit cacar ringan atau perubahan warna kulit di bagian tubuh yang tidak terlihat, serta rasa tidak nyaman atau panas setelah menggunakan air, namun tanpa memperparah kondisi medis. Dalam situasi ini, tayammum tidak dibolehkan karena tidak terdapat ancaman serius terhadap kesehatan.
Seseorang yang mengalami sakit hendaknya menilai kondisinya dengan cermat. Penilaian ini dapat diperoleh dari dokter yang ahli dan terpercaya, idealnya dari kalangan Muslim yang memahami pertimbangan hukum syariat. Adapun keterangan dari dokter non-Muslim, anak kecil, atau orang fasik tidak dapat dijadikan acuan hukum, kecuali dalam kondisi darurat dan keahliannya tidak diragukan. Dalam konteks tayammum, satu orang dokter sudah cukup untuk menjadi saksi atas kondisi sakit yang membolehkan tayammum. Hal ini berbeda dengan kasus wasiat yang memerlukan dua orang saksi karena berkaitan dengan hak manusia (ḥaqq adami), sedangkan tayammum termasuk hak Allah (ḥaqq Allāh), yang lebih bersifat fleksibel dan toleran.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait perlunya keterangan dari dokter. Sebagian ulama mewajibkan adanya keterangan dokter terlebih dahulu, sedangkan sebagian lainnya memperbolehkan tayammum tanpa harus menunggu kesaksian dokter apabila telah jelas adanya bahaya dari penggunaan air berdasarkan pengalaman pribadi dan penilaian rasional. Oleh karena itu, memahami klasifikasi sakit serta syarat-syarat tayammum menjadi sangat penting agar seseorang tidak mengambil keringanan secara sembarangan atau berlebihan. Syariat Islam memberikan kemudahan, namun tetap dengan pertimbangan keadilan dan proporsionalitas antara maslahat dan mafsadat.