Dialektika Qadha dan Qadar: Perspektif Ibnu Rusyd

Banjarmasin, Senin 14 April 2025, kembali dilaksanakan halaqah rutinan yang bertempat di Masjid Abdurrahman Ismail, UIN Antasari Banjarmasin, dengan pemateri Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A. Kajian ini melanjutkan pembacaan kitab Al-Kashf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah karya Ibnu Rusyd, yang kali ini membahas salah satu persoalan teologis penting dalam Islam, yaitu tentang Qadha dan Qadar.
Ibnu Rusyd memulai dengan menjelaskan bahwa persoalan ini termasuk di antara persoalan paling sulit dalam pembahasan syariat, karena dalil-dalil wahyu maupun argumentasi akal seringkali tampak saling bertentangan. Di satu sisi, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi atas takdir dan ketentuan Allah, seperti firman-Nya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdir)” (QS. Al-Qamar: 49) dan “Dan tidak ada suatu musibah pun menimpa di bumi dan pada dirimu melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya” (QS. Al-Hadid: 22).
Namun di sisi lain, Al-Qur’an juga memuat ayat-ayat yang menekankan pentingnya usaha dan tanggung jawab manusia atas perbuatannya. Misalnya: “Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri” (QS. Asy-Syura: 30), serta “Baginya apa yang ia usahakan dan atasnya pula apa yang ia lakukan” (QS. Al-Baqarah: 286).
Ibnu Rusyd juga menampilkan bagaimana terkadang dua pandangan ini hadir dalam satu ayat atau konteks yang sama. Misalnya dalam peristiwa Perang Uhud, Al-Qur’an menyatakan: “Katakanlah, itu dari diri kalian sendiri” (QS. Ali Imran: 165), namun juga menegaskan: “Apa yang menimpa kalian pada hari bertemunya dua pasukan adalah dengan izin Allah” (QS. Ali Imran: 166). Ini menunjukkan adanya ketegangan antara aspek kehendak ilahi dan tanggung jawab manusia dalam narasi yang sama.
Dalam hadis juga ditemukan keragaman makna. Hadis tentang “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah” menegaskan adanya kondisi bawaan yang suci pada manusia, sementara hadis “Aku ciptakan kelompok ini untuk surga dan yang lain untuk neraka” tampak menekankan predestinasi. Ibnu Rusyd mencatat bahwa perbedaan pandangan tentang qadha dan qadar ini telah memecah umat Islam menjadi dua kelompok besar: Mu’tazilah, yang menekankan kebebasan dan tanggung jawab manusia atas amalnya, dan Jabariyyah, yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kuasa atas perbuatannya karena segalanya telah ditentukan oleh kehendak Tuhan.
Dengan gaya berpikir yang filosofis dan kritis, Ibnu Rusyd mencoba menjembatani antara dalil wahyu dan nalar rasional. Ia menunjukkan bahwa pemahaman terhadap qadha dan qadar tidak dapat berhenti pada tekstualitas, tetapi mesti diiringi dengan penalaran dan pemahaman kontekstual terhadap maksud syariat.
Pembahasan selanjutnya, insyaAllah, akan dilanjutkan pada Minggu depan, dengan membahas lebih lanjut tentang pandangan qadha dan qadar ini.