Sore Ceria Tauladan: Tarawih Sebagai Bentuk Kasih Sayang Nabi Muhammad SAW

Pada hari Minggu, tanggal 09 Maret 2025, bertempat di RRI PRO 2 Banjarmasin, telah dilaksanakan Kajian Ramadan dengan tema “Tarawih sebagai Bentuk Kasih Sayang Nabi Muhammad SAW”, yang disampaikan oleh M. Zaini sebagai pemateri.
Dalam kajian tersebut, pemateri menjelaskan bahwa bulan Ramadan terbagi menjadi tiga fase, yaitu sepertiga pertama sebagai rahmat, sepertiga kedua sebagai berkah, dan sepertiga terakhir sebagai pembebasan dari api neraka. Oleh karena itu, umat Islam diingatkan agar tidak menyia-nyiakan limpahan rahmat Allah selama bulan suci ini.
Dalam pembahasannya, M. Zaini menekankan bahwa salat tarawih bukan sekadar ibadah, tetapi juga merupakan bentuk kasih sayang Rasulullah SAW kepada umatnya. Sejarah mencatat bahwa pada awalnya, tarawih belum banyak diikuti oleh para sahabat. Namun, setelah beberapa sahabat merasakan keutamaan salat berjamaah bersama Rasulullah dan menyebarkan pengalaman mereka, jumlah jamaah semakin bertambah setiap malam. Puncaknya terjadi pada malam keempat, ketika masjid penuh sesak hingga tidak mampu lagi menampung jamaah. Namun, malam itu Rasulullah SAW tidak keluar untuk salat berjamaah. Beliau kemudian menjelaskan bahwa ia sengaja tidak keluar karena khawatir tarawih akan diwajibkan, yang pada akhirnya dapat memberatkan umat Islam.
Pemateri juga menjelaskan bahwa salat tarawih pada masa Rasulullah SAW belum memiliki nama khusus, dan baru dinamai pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Dalam praktiknya, jumlah rakaatnya tidak ditentukan secara baku, bisa delapan atau dua puluh rakaat, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang memberikan kemudahan bagi pemeluknya. Selain itu, salat tarawih juga menjadi sarana mempererat kebersamaan umat Islam, karena berjamaah dapat menghadirkan suasana spiritual yang lebih kuat. Rasulullah SAW ingin umatnya memperoleh pahala sebanyak mungkin tanpa merasa terbebani, sehingga menjalankan tarawih bukan hanya sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah, tetapi juga sebagai wujud kecintaan kepada Rasulullah SAW.
Terkait hukum meninggalkan salat tarawih, ulama memiliki pandangan yang berbeda. Sebagian berpendapat bahwa tarawih yang ditinggalkan harus diqadha, sementara sebagian lainnya menyatakan bahwa hal tersebut tidak diperlukan karena Islam tidak ingin memberatkan umatnya. Dalam kajian ini, pemateri juga menyinggung fenomena di masyarakat, di mana ada sebagian orang yang lebih memilih tarawih dengan durasi yang lebih singkat. Sebagai contoh, dikisahkan tentang Khoirul Iman dan Muhammad Ali Rijani, yang rela menempuh perjalanan jauh untuk mencari masjid yang melaksanakan tarawih hanya dalam waktu 15 menit. Kisah ini mencerminkan adanya perbedaan cara dalam menjalankan ibadah, meskipun esensi utama tarawih tetaplah merasakan kebersamaan dan kasih sayang Rasulullah SAW.
Sebagai kesimpulan, kajian ini menegaskan bahwa salat tarawih bukan hanya sekadar ibadah, tetapi juga manifestasi kasih sayang Rasulullah SAW kepada umatnya. Dengan tarawih, umat Islam diajarkan tentang nilai kebersamaan dan kemudahan dalam beragama, sesuai dengan prinsip Islam yang tidak memberatkan. Oleh karena itu, menjalankan tarawih dengan penuh kesadaran dan keikhlasan akan semakin mendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.