“Ulasan Kitab Kifayatu Al-Akhyar: Memahami Pembatal Wudu dalam Mazhab Syafi’i di Kajian Fiqih Bersama Ustadz KH. Ghazali Mukeri”

**Banjarmasin (10/10/2024)** – Kajian fiqih rutin kembali dilaksanakan oleh mahasiswa dan mahasiswi Program Khusus Ulama (PKU) di Masjid Abdurrahman Ismail, yang terletak di kawasan kampus. Kajian yang diadakan setiap minggu ini membahas kitab klasik “Kifayatu Al-Akhyar”, sebuah kitab yang menjadi rujukan utama dalam Mazhab Syafi’i. Kajian kali ini dipandu oleh Ustadz KH. Ghazali Mukeri, Lc., seorang ulama yang memiliki spesialisasi dalam fiqih dan ushul fiqih.

Pada pertemuan kali ini, Ustadz Ghazali membahas bab yang sangat penting dalam fikih thaharah, yaitu tentang **hal-hal yang membatalkan wudu**. Berdasarkan kitab “Kifayatu Al-Akhyar”, beliau menjelaskan bahwa dalam pandangan Mazhab Syafi’i, hal-hal yang membatalkan wudu dikelompokkan menjadi lima jenis utama:

1. **Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur)**, baik berupa cairan seperti air kencing, madzi, maupun angin (kentut). Beliau merujuk kepada firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 6, yang menegaskan bahwa apabila seseorang keluar dari “tempat buang air” (al-gha’ith), maka diwajibkan berwudu. Dalil ini diperkuat dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa kentut, baik kecil maupun besar, membatalkan wudu. Begitu pula hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yang menceritakan bahwa beliau sering mengalami keluarnya madzi, dan Rasulullah SAW memerintahkan untuk mencuci kemaluan serta berwudu.

2. **Kesembuhan dari hadas yang terus-menerus** seperti istihadhah pada wanita atau penyakit beser pada pria. Hal ini karena selama masih dalam kondisi berkesinambungan hadas, wudunya tidak bisa dipertahankan, sehingga setelah sembuh atau berhenti, wudu harus diperbaharui.

3. **Berakhirnya masa mengusap khuf** (sepatu kulit yang dipakai dalam wudu). Jika masa mengusap habis, maka seseorang dianggap tidak lagi dalam kondisi wudu, sehingga perlu wudu baru apabila ingin shalat.

4. **Memakan daging unta**. Hal ini menjadi perdebatan di antara para ulama. Ustadz Ghazali menyampaikan bahwa dalam pandangan Imam Nawawi, memakan daging unta membatalkan wudu karena ada dua hadits sahih yang mendasarinya. Namun, mayoritas ulama Syafi’iyah berpandangan bahwa daging unta tidak membatalkan wudu, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Syafi’i sendiri bahwa di akhir masa Rasulullah SAW, beliau meninggalkan kewajiban wudu dari sesuatu yang telah disentuh oleh api (makanan yang dimasak dengan api).

5. **Keluarnya mani**. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa mani membatalkan wudu sekaligus mewajibkan mandi besar, namun sebagian lain berpendapat mani hanya mewajibkan mandi besar tanpa membatalkan wudu secara khusus. Ustadz Ghazali menjelaskan bahwa pendapat pertama dibantah oleh Al-Mawardi dengan analogi pada haid, yang disepakati membatalkan wudu sekaligus mengharuskan mandi besar. Pendapat kedua dikuatkan oleh Imam Ar-Rafi’i yang mengatakan bahwa mani hanya mewajibkan mandi besar, bukan wudu.

Selain itu, Ustadz Ghazali juga menyinggung tentang **hal-hal yang tidak membatalkan wudu**, seperti darah yang keluar dari selain dua jalan, muntah, atau bekam. Beliau merujuk kepada hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW pernah berbekam dan hanya mencuci tempat bekas bekamnya tanpa memperbaharui wudunya, sehingga hal-hal yang keluar dari selain qubul dan dubur tidak termasuk pembatal wudu.

Kajian ini berlangsung selama dua jam dengan antusiasme para mahasiswa dan mahasiswi yang tinggi. Banyak dari mereka yang mengajukan pertanyaan terkait masalah fiqih sehari-hari, terutama tentang perbedaan pendapat di antara ulama Mazhab Syafi’i mengenai mani dan daging unta. Ustadz Ghazali menekankan pentingnya memahami dalil-dalil dan mengikuti panduan dari ulama yang kompeten dalam mengambil keputusan hukum, agar amalan thaharah (bersuci) menjadi lebih sempurna.

Pertemuan diakhiri dengan pembacaan doa dan harapan agar para peserta kajian dapat mengamalkan ilmu yang telah dipelajari. Kajian “Kifayatu Al-Akhyar” ini akan dilanjutkan pekan depan dengan pembahasan yang lebih mendalam mengenai topik-topik lain dalam thaharah dan ibadah.