“Menyingkap Adab Buang Hajat: Larangan, Etika, dan Pandangan Fiqih dalam Kajian Kitab ‘Kifayatu Al-Akhyar’”
Banjarmasin (03/10/2024) – Subuh ini, mahasiswa dan mahasiswi Program Khusus Ulama (PKU) mengadakan Halaqah Fiqh di Banjarmasin dengan kajian kitab klasik “Kifayatu Al-Akhyar”. Kegiatan ini dipimpin oleh KH. M. Ghazali Mukeri, Lc., seorang pengajar yang berpengalaman dalam bidang fiqih. Pada pertemuan kali ini, beliau membahas beberapa poin penting mengenai adab buang hajat, posisi dalam buang hajat, serta larangan berbicara di tempat tersebut, yang semuanya dikupas dari perspektif fiqih berdasarkan kitab “Kifayatu Al-Akhyar”.
Dalam kajiannya, KH. M. Ghazali Mukeri menekankan tiga poin utama yang terdapat dalam kitab tersebut:
1. “Larangan Menghadap atau Membelakangi Matahari dan Bulan saat Buang Hajat” KH. Ghazali menjelaskan bahwa menghadap atau membelakangi matahari dan bulan ketika buang hajat termasuk dalam perkara yang dibahas dalam *Kifayatu Al-Akhyar*. Hal ini, menurut beberapa pendapat, dianggap makruh karena keduanya merupakan tanda kebesaran Allah. Namun, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama terkait hukumnya. Sebagian ulama, termasuk Imam Nawawi, menyatakan bahwa larangan ini hanya berlaku dalam keadaan tertentu, sedangkan yang lainnya menganggap bahwa membelakangi matahari dan bulan bukanlah makruh. Diskusi ini menunjukkan luasnya pemahaman tentang adab buang hajat dalam Islam.
2. “Tidak Berbicara Ketika Buang Hajat” Mengacu pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, KH. Ghazali menjelaskan bahwa berbicara saat buang hajat adalah hal yang dibenci (makruh). Sebagaimana dijelaskan dalam *Kifayatu Al-Akhyar*, Nabi ﷺ pernah bersabda bahwa Allah sangat membenci dua orang yang buang hajat bersama-sama sambil berbicara dan menyingkap aurat. Oleh karena itu, selain menjaga kebersihan dan kesopanan, Islam juga sangat memperhatikan etika dalam aktivitas pribadi. Bahkan, dalam kitab tersebut, disebutkan pula bahwa menjawab salam atau membaca dzikir pun dianjurkan untuk dilakukan dalam hati tanpa menggerakkan lisan saat buang hajat.
3. “Adab Mengangkat dan Menurunkan Pakaian Ketika Hendak Buang Hajat”. Dalam pembahasan ketiga, KH. Ghazali menyoroti adab yang sering kali dianggap sepele, yaitu mengangkat dan menurunkan pakaian sebelum dan sesudah buang hajat. Mengutip *Kifayatu Al-Akhyar*, dijelaskan bahwa seseorang tidak seharusnya mengangkat pakaian hingga ia benar-benar mendekati tanah untuk duduk, guna menjaga aurat dari pandangan meskipun di tempat yang sepi. Setelah selesai, dianjurkan untuk segera menurunkan kembali pakaian sebelum berdiri tegak. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan menjaga rasa malu, baik di hadapan manusia maupun Allah Ta’ala.
KH. Ghazali mengakhiri sesi halaqah dengan menekankan bahwa adab-adab dalam Islam, termasuk dalam hal buang hajat, menunjukkan betapa detailnya agama ini mengajarkan kesopanan dan kebersihan, tidak hanya dalam interaksi sosial tetapi juga dalam aktivitas pribadi. Kegiatan halaqah ini diharapkan dapat menambah pemahaman para mahasiswa dan mahasiswi PKU terhadap pentingnya menerapkan adab-adab syar’i dalam kehidupan sehari-hari.
Halaqah fiqih ini akan terus dilanjutkan pada pertemuan mendatang dengan pembahasan lebih lanjut dari kitab “Kifayatu Al-Akhyar”.
