Air Musyammas: Halaqah Fiqh PKU

Banjarmasin (30/11/2023), kembali dilaksanakan halaqah fiqh yang dibimbing oleh ustadz Ghazali Mukrie di Masjid Abdurrahman Ismail, dan pada pertemuan kali ini membahas mengenai air musyammas.

Air suci menyucikan tetapi makruh, yakni air Musyammas. Air ini merupakan bagian kedua dari pembagian air, yakni air Musyammas. Yakni air yang suci pada zatnya, karena tidak jatuh najis, dan suci. Yakni dalam hal mengangkat hadats dan menghilangkan najis. Lalu mengapa mengapa menjadi makruh. Terdapat khilaf, pendapat yang as-sah dikalangan Rafi’i itu makruh. Imam Rafi’i berijtihad berdasarkan larangan Rasulullah kepada ‘Aisyah mengenai air Musyammas. Beliau bersabda: Air Musyammas menyebabkan penyakit baras (bercak-bercak di kulit). Ibnu Abbas berkata, dari Nabi Saw: Barangsiapa air yang mandi dengan air yang terkena matahari (air Musyammas) maka ia terkena wadah (penyakit baras), maka janganlah mencela-cela, tapi celalah diri sendiri. Umar juga berkata, bahwa air Musyammas menyebabkan baras.

Air Musyammas dimakruhkan berdasarkan dia syarat:

Pertama, air Musyammas itu merupakan air yang ada di dalam wadah, seperti wadah tembaga, besi dan timah. Air yang berada dalam wadah inilah yang menyebabkan penyakit baras. Akan tetapi zat yang menyebabkan Musyammas tidak terdapat dalam perak dan emas, karena kemurnian bahan keduanya. Akan tetapi, wadah tersebut diharamkan dipergunakan untuk tempat berwudhu. Namun perlu diingat, jika air yang terkena sinar matahari diwadah emas dan perak maka mubah, tidak makruh. Dan begitupula, tidak dimakruhkan terhadap bahan-bahan lainnya, seperti dari bahan dan lainnya.

Adapun Syarat yang kedua, air yang terkena matahari di negeri yang sangat panas, tidak termasuk di tempat yang sangat dingin atau sedang.

Tidak ada perbedaan antara air yang terpapar matahari dengan sengaja atau tidak, karena sama-sama mewujudkan illat, dan tidak dimakruhkan Musyammas pada air di danau atau kolam (yang terbuat wadahnya dari tanah) tanpa adanya khilaf.

Apakah hal ini termasuk makruh secara syar’iyaah atau irsyadiyah? Pada hal ini ada dua pendapat, yang paling utama (syarh al-Muhadzab) itu syar’iyaah. Sedangkan pendapat yang kedua secara irsyadiyah.