Masalah Persaksian (lanjutan) : Kajian Fiqh PKU

وضرب يقبل فيه شاهد واحد، وهو هلال رمضان
Salah satu persaksian yang kenyang gak Allah adalah persaksian mengenai hilal Ramadhan. Saksi bagi hilal Ramadhan, cukup disaksikan oleh satu orang. Sedangkan hilal yang lain harus dua orang. Hal ini dikarenakan menyangkut dengan kewajiban Ramadhan, sebagai bentuk kehati-hatian. Sedangkan kehati-hatian dalam meninggalkan Ramadhan (awal bulan syawal), maka harus ada dua orang saksi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh muallif kitab, pendapat ini merupakan pendapat yang rajih di kalangan Syafi’iyah, Hanbaliyah dan sebagian Malikiyyah.

Adapun yang menjadi dalil dari hal ini adalah perkataan Ibnu Umar, yakni
تراءى الناس الهلال، فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم أني رأيته، فصام وأمر الناس بصراحه
Pembimbing menjelaskan, bahwa maksud dari redaksi riwayat ini adalah saat orang-orang berkumpul untuk menetapkan awal Ramadhan, kemudian hanya Ibnu Umar yang melihat nya, dan dia pun melaporkan mengenai apa yang dilihatnya kepada Nabi dan mereka berpuasa.

Selain masalah hilal Ramadhan, ada juga masalah lain yang persaksian nya hanya satu orang menurut Imam Mutawalli, yang dinukil juga oleh Imam Nawawi dalam Syarat al-Muhaddzab. Dikatakan oleh Imam Nawawi, sebagaimana yang dinukil dari Imam Mutawli
فرع: ذكر المتولي أنه لو مات كافر، فشهد واحد بأنه أسلم… فلا نحكم بأنه مسلم في الإرث، فيرثه الكافر لا المسلم، وهل يحكم به في جواز الصلاة عليه ؟ قولان، كما في ثبت هلال رمضان
Orang yang meninggal dunia (seorang kafir) dan ada satu orang yang menyaksikan nya beriman di akhir hayatnya. Maka tidak bisa anaknya yang muslim mewarisi harta nya, walau dikatakan si mayit meninggal dalam keadaan muslim. Dikarenakan itu merupakan gak manusia, dan tidak dipenuhi jumlah saksi. Sedangkan mengenai shalat fardu kifayah atasnya, ada dua pendapat (satu orang saksi, atau harus dua orang saksi) . Namun yang diambil adalah adanya shalat fardu kifayah bagi si mayit, sebagaimana ketetapan hilal Ramadhan. Disebutkan juga, bahwa syekh Tajuddin Ibnu Farkah yang dinukil dari Imam Mawardi mengenai salah satu pengecualian juga, dan saat ditelusuri oleh Imam Nawawi ternyata hal tersebut hanyalah sebatas Wahm.

قال: ولا تقبل شهادة الأعمى إلا في خمسة مواضع : النسب، والموت، والملك المطلق، والترجمة، وعلى الضبوط، وما تحمله قبل العمى

Tidak diterima kesaksiannya orang buta kecuali dalam lima perkara, nasab, kematian, kepemilikan secara mutlak, tarjamah, على الضبوط, menyaksikan sebelum buta.

Dalam persaksian ada yang bisa dilihat melalui penglihatan, dan ada juga yang bisa didengar. Dua jalan persaksian ini merupakan hal yang bisa menghasilkan kepentingan informasi, kedua hal ini merupakan hal yang diperbolehkan diterimanya persaksian. Termasuk juga yang bisa dijadikan sebagai pertimbangan bisa diterimanya persaksian, yang informasi nya bisa diperoleh melalui indra pendengaran melalui cara istifadah (pembicaraan orang banyak), dengan syarat yang menyampaikan banyak dan tidak sepakat berdusta. Seperti masalah nasab, kematian dan kepemilikan mutlak. Dikarenakan kondisi-kondisi ini bisa diketahui melalui pendengaran. Karena sama antara orang melihat (normal) degan orang yang buta. Hal ini merupakan pendapat yang shahih menurut jumhur.

Dan dikatakan juga
‌لا اقبال شهادة الأعمى في ذلك، لأن المخبرين لا بد من العلم بالتهم، و الأعمى لا يشاهدها فلا يعرف عدالتهم
Tidak diterima persaksian orang buta, karena tidak diketahui keadilannya.

Al-Qadhi Abu Tayyib mengatakan bahwa diterima persaksian orang buta, namun dengan beberapa kriteria.

Diperbolehkan nya persaksian nya orang buta, karena beberapa kriteria menurut pendapat yang as-shah. Maka diperbolehkan nya persaksian orang buta dengan memegang kuat (على المضبوط). Gambaran masalahnya: ada orang yang melakukan sesuatu kemudian mendengar pengakuan dari orang yang melakukan nya di telinganya. Kemudia si buta tadi memegangi orang tersebut dan membawanya kepada qadhi, kemudian memberikan persaksian seperti apa yang dia dengar. Dan ini merupakan pendapat yang rajih. Tetapi bisa juga ada kemungkinan bahwa ada orang yang pura-pura mengaku kepada si buta tadi, namun mengambil dari kebiasaan, sangat jarang orang mau mengakui hal yang tidak dilakukan nya.

Qadhi Husain mengatakan terjadinya perbedaan pendapat mengenai kebolehan dan Ketidakbolehan. Apabila hanya berduaan disatu tempat, maka boleh si buta memberikan persaksian. Namun apabila di tengah orang banyak, tidak diterima persaksian si buta.

Dalam hal ini, masih ada pendapat lain lagi dengan berbagai masalah lainnya. Seperti persaksian orang buta sebelum dia buta.

Wallahu A’lam