Kaidah Persetujuan dan Perbedaan Pendapat : Halaqah Bahsul Masail PKU Putri
Banjarmasin, (25/09/23) halaqah bahtsul masa’il kembali dilaksanakan dengan mengangkat bahasan Konsep perbedaan pendapat. Materi pertemuan ini sendiri, dibawakan oleh Dwi Nur Fauziyah Latif, Hasanah, Nani Sartika, dan Nisa Aulia Ramadhani, dibawah pengawasan Ibu Hj. Inawati, Lc., MA.
Konsep teks ada dua macam, yaitu konsep persetujuan dan konsep perbedaan pendapat.
Konsep persetujuan:
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa hukum atas suatu hal yang disebutkan itu terbukti atas apa yang tidak disebutkan mengenainya, karena ikut serta dalam alasan hukum itu yang dapat dipahami melalui bahasa, seperti makna firman Allah SWT : (maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”) (Al-Isra: 23/17), tentang pembahasan terdahulu pada BAB pertama. Keputusannya adalah bahwa konsep ini harus diperhitungkan. Karena lebih berhak hukumnya daripada apa yang diucapkan, dan juga jika apa yang didiamkan itu sama dengan apa yang diucapkan, seperti memusnahkan harta anak yatim, itu setara dengan melarang memakannya secara zalim.
Konsep Perbedaan Pendapat:
Hal tersebut merupakan indikasi pengingkaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan mengenai hal yang disebutkan mengenai apa yang tidak disebutkan mengenainya, karena tidak ketersediaan pembatasan operasional.
Kaidah yang berlaku umum mengenai hal ini menurut mazhab Hanafi adalah bahwa putusan yang bersumber dari konsep pelanggaran tidak boleh diperhitungkan. Apabila teks hukum itu menunjukkan suatu putusan di suatu tempat yang dibatasi oleh suatu keadaan, tujuan, atau hitungan, maka teks hukum yang disertai pembatasan itu merupakan bagian operatif dari teks tersebut. Hukum tempat yang tidak ada batasannya adalah konsep yang berlawanan, dan dalam teks hukum tidak ada indikasi hukum tentang konsep yang berlawanan menurut mazhab Hanafi.
Jenis-jenis konsep Perbedaan Pendapat:
Menjelaskan dasar konsep pelanggaran memerlukan klarifikasi jenis-jenisnya, yang terpenting ada lima:
Konsep kata sifat: Merupakan indikasi kata yang dibatasi oleh kata sifat untuk mengingkari hukum yang dijelaskan bila sifat tersebut tidak ada, seperti firman Yang Maha Kuasa: Dan barangsiapa di antara kamu tidak mampu menikah secara suci, wanita-wanita yang beriman, maka di antara gadis-gadismu yang beriman itu ada tangan kananmu (Allah). Menurut Syafi’i, Hanbali, dan Maliki, hal tersebut menandakan larangan menikahkan budak perempuan dalam keadaan tidak ada iman, menurut Hanafiyah, mengatakan bahwa mengikat hukum dengan sifat tidak menunjukkan penolakan hukum ketika sifat itu hilang. Oleh karena itu, tidak ada petunjuk dalam ayat ini terkait hukum menikahi budak wanita yang bukan beriman, begitu juga tidak ada petunjuk dalam ayat ini terkait hukum bagi mereka yang mampu menikahi budak perempuan merdeka. Apakah mereka boleh menikahi budak wanita yang beriman? Dan firman Allah, ‘atau darah yang tercurah’ [Al-An’am: 145/6], secara lisan mengharamkan darah yang tercurah, tetapi maknanya bertentangan, yaitu menghalalkan darah yang tidak tercurah menurut kelompok pertama.
Dan perkataan Rasulullah, ‘zakat di dalam daging binatang ternak’, menunjukkan pada pandangan pertama bahwa zakat tidak wajib untuk hewan yang dikenal. Namun, itu tidak menunjukkan hal yang sama pada pandangan kedua. Dan perkataannya, ‘penyalahgunaan harta orang kaya’, menunjukkan bahwa penyalahgunaan harta oleh orang miskin tidak dianggap sebagai penyalahgunaan menurut pendapat pertama.
Konsep syarat adalah penunjukan kata yang mengaitkan hukum dengan syarat, yang berarti bahwa hukum itu berlaku jika syarat tersebut ada dan batal jika syarat tersebut tidak ada, seperti firman Allah, ‘Dan jika mereka sedang hamil, maka berikanlah nafkah kepada mereka sampai mereka melahirkan’ [At-Talaq: 67/5]. Hal ini menunjukkan, menurut madzhab Asy-Syafi’i, al-Hanbali, dan Maliki, dengan maknanya yang berbeda, bahwa kewajiban memberikan nafkah tidak berlaku bagi istri yang melampaui batas, yaitu istri yang tidak hamil. Namun, hal ini tidak menunjukkan hal yang sama dalam pandangan Hanafi. Dan firman Allah, ‘Jika mereka dengan sukarela memberikan kepada kamu sebagian dari mas kawinnya, maka makanlah itu dengan senang hati dan penuhi kebutuhan mereka dengan baik’ [An-Nisa: 4/4], menunjukkan pada pandangan pertama bahwa mengambil sebagian dari mas kawin adalah haram jika istri-istri tersebut belum bersedia memberikannya. Tetapi, ini tidak menunjukkan hal yang sama pada pandangan kedua.
Konsep tujuan adalah penunjukan kata yang mengikat hukum dengan tujuan, yang berarti bahwa hukum itu berlaku sampai tujuan tersebut tercapai, seperti firman Allah, ‘Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam’ [Al-Baqarah: 187/2]. Ini menunjukkan, menurut maknanya yang berbeda, bahwa makan dan minum dilarang setelah terbit fajar atau sampai malam. Diperbolehkan untuk berbuka puasa dengan memasuki malam saat matahari terbenam. Dan Allah SWT berfirman: “janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci” [Al-Baqarah: 222/2]. Menurut Syafi’i dan Hanbali boleh bergaul setelah suci dari haid. Dan Allah berfirman: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” Mafhum mukhalafah bahwa apabila istri yang diceraikan tiga kali itu menikah dengan suami selain yang menceraikan nya maka halal menikah dengan suami yang menceraikan nya. Dan ini menurut mayoritas ulama. Adapun menurut hanafiyah, tidak menunjukkan pemahaman ini atas menafikan hukum pada keadaan setelahnya.
Konsep jumlah: Ini adalah makna kata yang mengikat aturan berdasarkan jumlah yang dikecualikan darinya dalam hal lain. Juga, kata-kata ini menunjukkan konsep pertentangan bahwa peningkatan di atas seratus atau pengurangan di bawahnya tidak diperbolehkan. Konsep pertentangan ini mencakup angka kurang dari delapan puluh dan lebih dari itu. Ini adalah pemahaman yang diterima oleh mayoritas, tetapi tidak oleh mazhab Hanafi.
Konsep gelar atau konsep nama: Ini adalah makna dari kata yang digunakan untuk mengidentifikasi seseorang, seperti “Muhammad Rasulullah.” Konsep pertentangan dalam hal ini adalah segala sesuatu yang bukan Muhammad. Allah berfirman tentang konsep pertentangan yang tidak melibatkan ibu-ibu. Rasulullah SAW juga memberikan pandangan tentang konsep pertentangan yang tidak melibatkan orang yang bertakwa.
Pandangan kesepakatan ulama adalah bahwa konsep gelar bukanlah hujjah (alasan), karena menyebutkan gelar tersebut tidak membatasi, mengkhususkan, atau mengecualikan dari yang lain. Gelar adalah kata yang tetap dalam teks yang menyebutkan nama dan tanda pengenal pada entitas yang aturan yang disebutkan dalamnya diterapkan.
Kesimpulan : Para Ulama Ushul fiqh sepakat bahwa konsep nama bukanlah sebuah hujjah baik dalam teks hukum maupun lainnya. Namun mereka sepakat bahwa konsep sifat, syarat, jumlah, dan tujuan itu merupakan bukti atau hujjah walaupun di luar nash hukum, yaitu dalam kontrak, perkataan orang, ungkapan para pengarang, dan terminologi para ahli hukum. Sewa wakaf bagi saudara saya yang miskin, yang dimaksud adalah pembuktian hak terhadap saudaranya yang miskin, dan konsep pelanggarannya adalah mengingkari hak saudaranya yang tidak miskin; Karena kebiasaan dan konvensi masyarakat adalah demikian, kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa pembatasan tersebut bukan untuk spesifikasi.
Para ulama berbeda pendapat dalam menggunakan konsep perbedaan pendapat dalam uraian, syarat, tujuan, dan angka dalam kitab undang-undang.Mayoritas berpendapat bahwa konsep perbedaan pendapat merupakan dalil untuk membuktikan kebalikan dari putusan operatif, sesuai dengan adat istiadat dan adat istiadat masyarakat. Penggunaan metode mereka.Penganut paham Hanafi berpendapat bahwa konsep perbedaan pendapat bukanlah argumen dalam kasus-kasus ini; Karena banyak metode bahasa Arab dan nash-nash yang tidak bermaksud mengingkari hukum kecuali yang disebutkan, maka shalat dalam perjalanan dipersingkat, baik yang jamaahnya takut terhadap godaan orang-orang kafir atau tidak, padahal nashnya tidak. Syarat diperbolehkannya memperpendek rasa takut terhadap serangan: “ (Jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir.)” [An-Nisa’: 101/4]. Dan anak tiri (anak perempuan suami dari suami lain) diharamkan baginya ayah tirinya apakah dia ada di dalam kamarnya atau tidak, padahal dalam ayat tersebut terdapat larangan jika dia berada di dalam kamarnya: (“Dan anak-anak tirimu yang ada di pangkuanmu”) [An-Nisa: 23/4]. Hal ini merupakan pembatasan untuk menjelaskan realitas, sehingga tidak dimaksudkan untuk meniadakan hukum selain yang tercantum dalam nash, seperti menetapkan bahwa riba diharamkan berkali-kali, padahal riba mutlak haram, karena itu adalah haram. Batasan untuk menjelaskan realitas dan permasalahan yang ada.
Pendapat mayoritas lebih besar kemungkinannya jika kita membuktikan bahwa larangan yang disebutkan dalam teks tersebut disebutkan hanya untuk spesifikasi dan untuk berhati-hati dengannya daripada hal-hal lain, dan tidak disebutkan hikmah lain, seperti pernyataan realitas dan hal yang utama.
Wallahu A’lam
